Kamis, 23 Januari 2014

HARI PATRIOTIK GORONTALO, 23 JANUARI



Jalan 23 Januari

Belanda merencanakan pembumi hangusan segala aset di daerah jajahannya, termasuk di daerah Gorontalo, jika terjadi serbuan Jepang. Rencana ini diketahui oleh seorang perempuan bernama Saripa Rahman Hala, penyelidik pada pemerintahan Belanda. Dengan  semangat nasionalisme, Saripa Rahman Hala membocorkan informasi tersebut  kepada O.Kaharu dan Ahmad Hipy kemudian diteruskan ke Kusno Danupoyo.
Untuk  menghadapi rencana Belanda tersebut, tokoh-tokoh patriotic Gorontalo melakukan  rapat rahasia di kediaman Kusno Danupoyo. Hasilnya dibentuk komite duabelas sebagai wadah perjuangan melawan penjajah. Komite ini terdiri atas Nani Wartabone (Ketua), Kusno Danupoyo (Wakil ketua), Oe.H. Buluati (Sekretaris), A.R.Ointoe (Wakil sekretaris), beranggotakan: Usman Monorfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G.Usu, M.Sugondo, R.M.Danuwatio, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber.
Pada tanggal 23 Januari 1942, Komite 12 bersama rakyat Gorontalo  melakukan perlawanan dan merebut  kekuasaan dari tangan Belanda,  dengan menangkap 15 orang anggota pemerintah Belanda di Gorontalo. Sukses merebut markas Belanda di Gorontalo, Tim 12 di bawah pimpinan  Nani Wartabone bersama rakyat Gorontalo, mengibarkan  bendera Merah Putih sebagai bukti bahwa daerah Gorontalo telah merdeka. Untuk menjalankan  pemerintahan yang ditinggalkan Belanda, maka  dibentuk pucuk pimpinan pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang terdiri dari 12 orang anggota Komite 12 dibawah pimpinan Nani Watabone.
Berita tentang peristiwa 23 Januari 1942 dan berdirinya PPPG di Gorontalo, disebarkan ke daerah-daerah di sekitar Gorontalo. Untuk menyebarkan berita tersebut, diutuslah Muhammad Tahir ke Banggai, Ismail Komda ke Ampana, Dai Wartabone ke Una-una dan Ibrahim Usman ke Toli-Toli. Tujuannya adalah agar perjuangan PPPG mendapat dukungan politik dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat di daerah tersebut untuk meraih kemerdekaan seperti yang telah dilakukan oleh para Patriotik di Gorontalo.

Untuk mengenang peristiwa “heroic” tersebut, maka diabadikanlah  nama “Jalan 23 Januari” di Gorontalo.  Jalan ini berada di daerah Pecinan sekitar pasar sentral  lama Gorontalo. Selain nama jalan, juga ada nama “Stadion 23 Januari” di daerah Telaga. Dan yang terakhir, tanggal 23 Januari ditetapkan sebagai hari KARAWO untuk Provinsi Gorontalo, oleh Gubernur Gorontalo.
Hari ini, tanggal 23 Januari, menjadi hari yang sangat istimewa bagi rakyat Gorontalo, termasuk saya, karena hari ini juga merupakan tanggal kelahiran saya. (Gorontalo, 23 Januari 2014).

Minggu, 19 Januari 2014

RUTE BERDARAH



Menelusuri bantaran sungai Bolango, terpaksa harus mendorong sepeda.

Rute goes minggu ini sungguh mengejutkan para bikers MG2C. Medan yang dilalui sungguh sangat ekstrem dalam ukuran bikers pemula. Rute berdarah, itulah istilah yang ungkapkan oleh Ampa, salah seorang peserta goes. Peserta dipaksa melalui rute yang sebelumnya belum pernah dilaui oleh komunitas sepeda manapun. Rute menelusuri bantaran sungai Bolango dan melintasinya dengan kedalaman 1,5 m di pusaran arus deras.


Memikul sepeda di derasnya arus sungai Bolango
Beberapa bikers memilih jalur lain karena takut terseret arus. Tapi karena Ketua KKSS Provinsi Gorontalo, H. Zainal, sudah melompat duluan ke dalam sungai, akhirnya sebagian besar peserta goes ikut lombat sambil menggotong sepedanya. Bentangan luas sungai yang harus dilewati sekitar 50 meter, cukup menguras tenaga. Sekitar 30 menit kami berjuang untuk menaklukkan derasnya air sungai Bolango. Setelah peserta menyebarangi sungai, kami merayakannya dengan mandi dan berendam beberapa saat di pinggir sungai yang jernih.

Meluapkan kegembiraan

Setelah puas berendam dan beristirahat, perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan tanah yang licin. Kami memasuki kawasan persawahan di Bolango Utara, dengan menelusuri jalan-jalan inspeksi pengairan. Jalan datar di bawah rerimbunan pohon  membuat perjalan yang berjarak sekitar 10 km tidak terasa. Akhir dari etape kedua ini di bendungan Tapa Sungai Bolango. Sekali lagi kami harus melintasi sungan mengan memikul sepeda dengan jaran yang agak luas, 100 meter. Sebelum meninggalkan bibir bendungan, kami melakukan foto bersama sebagai kenangan.

Berfoto di depan bendungan

Etape ketiga, kami menelusuri daerah jalan-jalan berbukit menuju Bolango Utara. Tanjakan yang panjangnya sekitar 3 km, dengan kemiringan 10-15 derajat, cukup menguras tenaga. Beberapa bikers terpaksa mendorong sepedanya hingga mencapai puncak pendakian. Dari puncak pendakian ini kami meluncur dengan kecepatan maksimal sampai di jembatan Sungai Bolango. Kami beristirahat agak lama ditempat ini. Jam tyelah menunjukkan 10.00, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Gorontalo melalui jalan beraspal di daerah Bolango Selatan. 

Ketua KKSS Provinsi Gorontalo, H. Zainal.

Kami tiba di rumah H. Alifuddin, Ketua KKSS Kota Gorontalo pukul 10,30. Rupanya tuan rumah sudah menyiapkan berbagai suguhan makanan khas Sulawesi Selatan. Pallumara dan racca mangga tidak ketinggalan bersama ikan bakar bolunya. Sambil menikmati hidangan makan siang, kami dihibur oleh organ tunggal dengan lagu-lagu daerah. Ketua KKSS Provinsi Gorontalo ikut menymbangkan lagu untuk menghibur para bikers.

Minggu, 12 Januari 2014

MENJAJAL PEDALAMAN BONE BOLANGO



Menyusuri pinggir Sungai Botupingge

Setelah sukses mengikuti perjalan Makassar Gorontalo Goes Club (MG2C) dua minggu lalu ke pedalaman Limboto, minggu ini, 12 Jnauari 2014 saya kembali mengikuti rombongan orang-orang Sulawesi Selatan ini dengan rute yang berbeda. Kali ini saya tidak menggunakan olhtel kesayang saya La Bolong, tapi saya mengendarai Poligon CX.10 pemberian ketua KKSS Propinsi Gorontalo. 

Rute yang dipilih minggu ini adalah Bone Bolango. Sebelum meninggalkan markas MG2C di Warkop NUSANTARA, kami melakukan olah raga ringan untuk pelemasan otot. Setelah itu pimpinan rombongan menjelaskan rute yang akan kami lewati, dan melanjutkannya dengan doa bersama agar kami diberi kekuatan dan keselamatan dalam perjalanan.

Ada tiga orang baru yang ikut di rombongan ini; saya, Muhammad Yusuf (staf PNPM MP Provinsi Gorontalo), dan Prof. Dr. Hasanuddin (Pembatu Rektor  IV UNG). Kami bertiga terlihat menonjol di antara anggota rombongan, karena tidak menggunakan pakaian seragam MG2C. Tapi itu tidak mengurangi semangat dan rasa kebersamaan kami. Beberapa peserta menghampiri kami untuk berkenalan, sekaligus memberi beberapa saran bagaimana teknik menaklukkan rute yang akan kami tempuh.

Tepat jam 7.00 pagi, rombongan MG2C meluncur menuju Bone Bolango, melalui jalan Jenderal Sudirman, berbelok ke kiri melintasi jalan Arif Rahman Hakim, menuju jalan Andalas. Di jalan Andalas, kecepatan sepeda sudah mulai ditingkatkan hingga mencapai 30 km/jam. Memasuki daerah Bone Bolango, rombongan sudah mulai terpecah tiga, sekitar 10 biker berada di rombongan terdepan,  sementara saya dan Pak Yusuf berada di rombongan kedua dengan 10 orang lainnya. Sisanya sekitar 15 biker berada dibelakang kami.

Etape pertama menuju kantor Bupati Bone Bolango, kami tempuh dengan waktu 40 menit yang berjarak sekitar 15 km. Jalanan beraspal namun sedikit menanjak, memang sangat menguras tenaga. Jika tidak memperhitungkan stamina, akan menjadi masalah. Inilah yang dialamai salah seorang orang biker, dia  mengalami kelelahan yang sangat serius karena memaksakan diri memacu sepedanya di jalan tanjakan, sehingga harus diistirahatkan agak lama di halaman kantor Bupati Bone Bolango.

Di Deapan Kantor Bupati Bone Bolango
Setelah rombangan beristirahat sekitar 30 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju pedalaman Suwawa. Rute yang melewati kampung-kampung dan jalan tanah membuat kami tidak bisa memacu sepeda lebih cepat. Etape kedua ini yang dituju adalah jalan menuju kantor Gubernur Gorontalo, dengan menyusuri pinggir sungai di daerah Botupingge. Beberapa tanjakan ekstrim memaksa saya harus turun dari sepeda.  Saya dengan Pak Yusuf sudah tertinggal jauh dari rombongan. Untuk mengejar ketertinggalan, saya mencoba melewati jalan memotong di tengah perkampungan yang sudah dirabat beton. Saya berhasil bergabung kembali dengan rombongan tepat di bawah jembatan menuju kantor Gubernur.

Etape kedua berakhir di Kantor DPRD Propinsi Gorontalo,  kemudia dilanjutkan dengan etape ketiga kembali ke markas MG2C di Jalan Sudirman. Di sini kami istirahat agak lama, karena seorang peserta goes mengalami pecah ban depan. Dua orang teknisi yang mengikuti kami mencoba memperbaiki, tapi tidak berhasil, akhirnya speda bersama bikernya di angkut dengan bentor menuju markas MG2C. Jam 10,15  kami lanjutkan perjalan kembali ke markas MG2C di Jalan Jenderal Sudirman.  Sebelum tiba di markas MG2C, kami mampir di warung Pangkep Sop Saudara, di perempatan jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Arif Rahman Hakim, kami tiba di tempat ini tepat jam 11.00. Di Warung Pangkep, kami disuguhi berbagai penganan ringan dan berat. Ikan bakar dengan racca mangga, sayur bening, pallumara, jagung rebus, dan berbagai minuman dingin dan panas telah terjadi dengan rapih. Kami menikmatinya dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Perjalan hari ini begitu menyenangkan, terima kasih TUHAN.

Jumat, 10 Januari 2014

PEMBELAJARAN DARI KUPANG



Sekembali ke Makassar, saya tidak langsung bergabung dengan kawan-kawan aktifis LSM di Makassar. Saya memilih pulang kampung untuk bertemu orang tua, sambil melakukan perenungan-perenungan kecil di kebun rambutan saya. Seminggu lamanya saya menyibukkan diri di rimbunnya kebun rabutan. Saya tidak lagi mengikuti perkembangan politik paska lengsernya Pak Harto. Sengaja itu saya lakukan untuk menghilangkan rasa dongkol saya atas apa yang terjadi di negeri ini. Klimaks perjuangan menjatuhkan rezim orde baru, menjadikan para aktifis seolah lupa tentang bagaimana kelanjutan dari perjuangan itu. Seolah-olah tujuan utama kita hanya sampai pada jatuhnya Sueharto bersama rezimnya.
Setelah mengasingkan diri selama seminggu di kebun, saya kembali ke Makassar. Tiba di rumah, saya membaca Koran yang hampir seluruh isinya memuat tentang demo dan tarik menarik penyusunan kabinet baru yang akan dipimpin oleh Presiden BJ Habibi. Dari Koran yang saya baca, ada kesan situasi sudah mulai kondusif, roda pemerintahan mulai berjalan kembali. Tentu ini memberikan harapan besar bagi saya, agar program PPK yang sudah siap jalan, bisa kembali dilanjutkan.

Nico dan Kacang Tore


Rismawati Kama (Nico)

Rasa penasaran untuk mengenalnya sudah tidak terbendung. Setiap hari, dia dengan setia mengunjungi kami di kantor, sembari menebar senyum optimisnya. Akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya berbincang  guna mengenal dia lebih dekat. Nico, itulah nama ibu paruh baya ini. Penjual kacang tore (kacang goreng dengan kulitnya, kalau di Jawa disebut kacang tayamun) dari desa Uidu Kecamatan Limboto Barat. Menjual kacang sudah dilakoninya sejak 5 tahun silam. Suaminya yang menjadi buruh tani tidak mampu mencukupi biaya hidup keluarga, inliah yang membuat Nico harus mencari kerjaan yang  untuk menambah pendapat keluarga.

Nico,  nama sebenarnya adalah Rismawati Kama, memiliki seorang anak yang sudah kelas 3 SD. Dengan hasil usaha kacang torenya, dia bisa membiayai kebutuhan sekolah anaknya dan kebutuhan rumah tangganya. Setiap hari Nico menempuh perjalan 18 km untuk menjajakan kacang torenya. Dengan menenteng tas ganevo, Nico keluar masuk rumah dan kantor-kantor untuk menjajakan jualannya. Sehari, Nico bisa menjual kacang tore sebanyak 10 liter dengan harga Rp. 150.000,-. Dari hasil penjualan tersebut Nico bisa menyisihkan keuntungan bersih sekitar Rp. 70.000,- setelah dikurangi dengan biaya angkot dan bentor. Apakah itu cukup ?? Nico, menjawab dengan senyum. “Alhamdulillah.. saya harus mensyukurinya Pak, karena itu rezki pemberian dari Tuhan”.

Apakah Nico sudah pernah mendapat bantuan dari PNPM atau dari program lain ??. “Secara langsung belum Pak, saya hanya melanjutkan pinjaman Ibu saya yang tidak maupu dia bayar, sebesar 2 juta rupiah”. Mengapa Nico tidak bergabung saja dengan kelompok SPKP (simpan pinjam khusus perempuan) di desanya ??? “Saya tidak tau Pak, bagaimana caranya bergabung dengan kelompok itu”. Jawaban-jawaban Nico, seperti menampar muka saya. Sejumlah pertanyaan mengusik benak saya. Apa yang dikerjakan Fasilitator PNPM-MP di lapangan ?,  sehingga Nico tidak terlihat dari mata hati mereka. 

Mungkin Nico adalah salah satu dari sekian banyak orang-orang kecil yang tidak kita pedulikan. Orang-orang yang layak mendapatkan dukungan dan bantuan dari kita, tapi faktanya; mereka berjuang sendiri mengarungi hidup yang keras. SUNGGUH, INI SEBUAH IRONI !!!.

(Gorontalo, 10 Januari 2014)