Kamis, 01 Mei 2014

MAY DAY, SELAMAT HARI BURUH KAWAN.



Sekitar 232 tahun yang lalu, gerakan buruh internasional berhasil menetapkan “Hari Buruh” pertama di Dunia, tepatnya tanggal 5 September 1882 di Kota New York, yang diikuti oleh sekitar 20.000 orang buruh, yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.
Pada tahun 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang menjadikannya hari libur umum. Pada 1894. Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.
Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh selalu menjadi perhatian public. Bukan karena jumlah massa yang ikut pawai dan memacetkan Jakarta, tapi issue tunggang menunggangi gerakan buruh selalu menjadi alasan keamanan untuk melarang demo dalam peringatan “Hari Buruh”.  Tapi, kita tidak perlu berkecil hati, karena “May Day” sudah dijadikan hari libur nasional. SELAMAT HARI BURUH, KAWAN. SEMOGA PERJUANGAN KITA  DAPAT MENSEJAHTERAKAN KAUM BURUH INDONESIA.

PULAU SARONDE, Surga di Bibir Pacific



Pulau Saronde, Surga di bibir Pacific.

Taman Surga di bibir Pacific, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan dan kemolekan Pulau Saronde. Pulau mungil yang merupakan bagian dari Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, memiliki keindahan alam laut yang luar biasa. Pasir putih yang halus berpadu dengan batu-batu hitam yang besar, menjadikan pulai ini terlihat sangat eksotik. Air lautnya yang jernih, membuat kita dapat melihat bunga-bunga karang yang asri dikedalaman 1,5 – 2 meter. Sungguh pemandangan yang mempesona.
Pasir putih, dan batuan warna hitam.
Untuk mencapai Pulau Saronde, tidak begitu sulit. Dari Kota Gorontalo, kita bisa menggunakan kendaraan darat menuju Kwandang, ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara. Jarak antara Kota Gorontalo dengan Kwandang, sekitar 50 km, dengan waktu tempuh sekitar satu sengah jam. Dari Kwandang menuju Pulau Saronde, kita bisa naik perahu “katin-ting” dengan sewa sekitar Rp. 200.000,- . Dari pelabuhan Kawandang menuju Pulau Saronde, ditempuh dengan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Ada banyak perahu nelayan yang siap mengantar kita ke Saronde, jika harga carter perahu disepakati. Memang belum ada angkutan penyeberangan yang regular untuk mengangkut wisatawan yang berkunjung ke Saronde. Mungkin karena belum banyak pengunjung yang berwisata ke pulai ini.
Air laut yang jernih
Perjalanan saya ke Pulau Saronde bukanlah tujuan utama. Sebenarnya, saya ingin mengunjungi program-program yang dibiayai PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Ponelo Kepulauan. Karena sudah lama saya dengar cerita keindahan Pulau Saronde, maka saya sempatkan diri untuk mengunjungi polau ini. Untuk itu, saya minta Wilco, FK Kecamatan Ponelo Kepulauan, mempersiapkan perahu yang lebih baik, agar saya bisa menyeberang ke Saronde.
Rabu (30 Maret 2014), pagi jam 6.00, saya tinggalkan kamar kos saya menuju Kwandang. Sekitar jam 7,30 saya sudah tiba di pelabuhan Kwandang. Sambil menunggu perahu yang akan mengantar saya ke Ponelo dan Saronde, saya menyempatkan diri sarapan pagi di area pelabuhan. Tepat jam 8.00, Wilco memberi tahu saya kalau perahu sudah siap diberangkatkan. Kami tinggalkan pelabuhan Kwandang, jam 8.15 menuju Pulau Saronde. Sengaja kami langsung ke Pulau Saronde, karena di pagi hari laut masih teduh.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Saronde, kami disuguhi pemandangan alam laut yang sangat elok. Biru laut yang teduh, berpadu dengan warna kehijauan gugusan pulau-pulau dengan nyiur melambai, menjadikan perjalan satu jam terasa singkat. Terumbu karang di kedalam 2 meter, terlihat jelas dari atas kantinting. Iakn-ikan karang terlihat bergerombol bermain di sela-sela karang yang masih perwan. Sungguh perjalanan yang mengasyikkan…

Kami tiba di Pulau Saronde jam 9,15. Wilco bersama adik sepupunya, memasang jangkar dan mengikatkan perahu. Saya sedikit terperangah melihat hamparan pasir putih yang begitu luas dengan biru laut yang kontras, menjadikan pemandangan “ibarat lukisan” sang maestro. Kondisi pulau sangat sepi, hanya ada seorang prempuan paru baya sedang menyapu di sekitar gazebo yang sudah disiapkan untuk pengunjung. Sepertinya, hari itu hanya kami yang mengunjungi pulai ini.
Setelah beristirahat sejenak, kami menyempatkan diri mengelilingi pulau yang lebarnya sekitar 3 heaktar ini. Disisi barat Pulau Saronde terdapat gugusan batu besar di sela-sela hutan mangrove yang masih tersisa. Melihat jenis batuannya, kelihatannya ini bukan batu karang, tapi seperti batuan gunung berapi (batu vulakno). Batu-batu besar seukuran kerbau tersebut bertebaran menambah keunikan pulau ini. Air mulai surut, sehingga membuat kami leluasa melihat terumbu karang yang ada disekitar pulau. Rumput padang lamun melambai-lambai karena terbawa arus pasang. Kami tak hentin-hentinya mengagumi keindahan Saronde…
Mendorong Perahu
Puas mengelilingi pulau, kami menganti pakaian untuk mandi. Sekitar satu jam kami berendam di air laut yang jernih. Sambil bermain dengan “bintang laut” yang banyak menghiasi pesisir Saronde, saya merenung; betapa indahnya negeri ini, tapi mengapa masih banyak nelayan disekitar Saronde yang hidupnya miskin ? Dari informasi yang saya peroleh, bahwa Pulau Saronde sudah di kontrakkan kepada swasta. Dan mudah-mudahan masyarakat di sekitar Saronde masih bisa memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisatanya.

Dapat iakan karang, hehehehe
Jam 12.00, kami bergegas meninggalkan Saronde. Air surut membuat perahu kami kandas, sehingga harus menunggu sekitar 15 menit untuk mendorongnya ke laut. Setelah berjuang sekitar 10 menit, barulah perahu kami dapat kembali mengapung dan siap meninggalkan Saronde. Sebelum kembali ke Kawandang, kami menyempatkan singgah di gugusan karang untuk memancing. Dengan alat pancing tradisional, saya dan Wilco mencoba peruntungan. Setelah lima menit pancing kami turunkan, Wilco lebih dulu mendapat ikan batu (jenis kerapuh). Tidak lama kemudian saya pun berhasil menaikkan satu ikan karang dengan ukuran telapak tangan. Luar bisas, saya betul-betul menikmati perjalanan hari ini….