Terjebak
dipusaran senja...... terseret hingga palung terdalam. Tuhan… aku tak pernah
menolak takdir. Tapi untuk yang ini, seprti sengkarut yang sulit kuurai. Awalnya,
kupikir ini hanyalah kembang hidup di usia senja. Tapi ternyata, prahara yang membelenggu
sukma....
Tampilkan postingan dengan label Citarasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Citarasa. Tampilkan semua postingan
Kamis, 04 Februari 2016
Jumat, 10 Januari 2014
Nico dan Kacang Tore
Rismawati Kama (Nico) |
Rasa penasaran untuk mengenalnya sudah tidak terbendung.
Setiap hari, dia dengan setia mengunjungi kami di kantor, sembari menebar
senyum optimisnya. Akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya berbincang guna mengenal dia lebih dekat. Nico, itulah
nama ibu paruh baya ini. Penjual kacang tore (kacang goreng dengan kulitnya,
kalau di Jawa disebut kacang tayamun) dari desa Uidu Kecamatan Limboto Barat. Menjual
kacang sudah dilakoninya sejak 5 tahun silam. Suaminya yang menjadi buruh tani
tidak mampu mencukupi biaya hidup keluarga, inliah yang membuat Nico harus
mencari kerjaan yang untuk menambah
pendapat keluarga.
Nico, nama sebenarnya
adalah Rismawati Kama, memiliki seorang anak yang sudah kelas 3 SD. Dengan
hasil usaha kacang torenya, dia bisa membiayai kebutuhan sekolah anaknya dan
kebutuhan rumah tangganya. Setiap hari Nico menempuh perjalan 18 km untuk
menjajakan kacang torenya. Dengan menenteng tas ganevo, Nico keluar masuk rumah
dan kantor-kantor untuk menjajakan jualannya. Sehari, Nico bisa menjual kacang
tore sebanyak 10 liter dengan harga Rp. 150.000,-. Dari hasil penjualan
tersebut Nico bisa menyisihkan keuntungan bersih sekitar Rp. 70.000,- setelah
dikurangi dengan biaya angkot dan bentor. Apakah itu cukup ?? Nico, menjawab
dengan senyum. “Alhamdulillah.. saya harus mensyukurinya Pak, karena itu rezki
pemberian dari Tuhan”.
Apakah Nico sudah pernah mendapat bantuan dari PNPM atau
dari program lain ??. “Secara langsung belum Pak, saya hanya melanjutkan
pinjaman Ibu saya yang tidak maupu dia bayar, sebesar 2 juta rupiah”. Mengapa
Nico tidak bergabung saja dengan kelompok SPKP (simpan pinjam khusus perempuan) di desanya ??? “Saya tidak tau
Pak, bagaimana caranya bergabung dengan kelompok itu”. Jawaban-jawaban Nico,
seperti menampar muka saya. Sejumlah pertanyaan mengusik benak saya. Apa yang
dikerjakan Fasilitator PNPM-MP di lapangan ?,
sehingga Nico tidak terlihat dari mata hati mereka.
Mungkin Nico adalah salah satu dari sekian banyak
orang-orang kecil yang tidak kita pedulikan. Orang-orang yang layak mendapatkan
dukungan dan bantuan dari kita, tapi faktanya; mereka berjuang sendiri
mengarungi hidup yang keras. SUNGGUH, INI SEBUAH IRONI !!!.
(Gorontalo, 10 Januari 2014)
Kamis, 09 Januari 2014
DETIK-DETIK MENDEBARKAN
Intrik-intrik telah membuat kakak dan adik
memperebutkan kursi itu
Ambisi saling menyala menjadi iri
seakan mereka tidak lahir dari rahim seorang ibu
Apa mau dikata
si kakak merasa pantas untuk yang satu
dengan setegak daya dengan sebentuk wibawa
sang adik tak kalah yakin
hanya dirinya yang pantas berjaya
seakan bintang dan matahari
sudah siap mendampinginya
Inilah kabar getir yang membuat
angin di Luwu
jadi tak nyaman
Padahal rakyat di bukit dan di pelosok lembah
mendamba udara tanpa badai dan topan
Syahwat politik tak boleh dibiarkan
agar fitnah tak makin setan
Adat tak boleh rusak
oleh pertarungan nafsu yang lagi bergolak
Maka agar terjaga birunya langit
agar segar cokelatnya tanah
Perhelatan besar pun digelar
Sebagian hadir dengan hati yang gemetar
peristiwa apa yang akan terjadi
di bawah atap baruga yang besar?
Rabu, 01 Januari 2014
SKETSA HIDUP
Senin, 30 Desember 2013
DILEMA SANG KAKAK
Mungkin benar, apa yang dikatakan Sudjiwo Tedjo. “Kamu bisa merencanakan menikah dengan
siapa, tapi tidak bisa rencanakan cintamu untuk siapa. Menikah itu nasip,
mencintai itu takdir”. Dan kira-kira itulah situasi yang dialamai oleh Roy,
peria paruh baya yang merantau meninggalkan anak dan istrinya, demi sebuah
tugas dan tanggung jawab. Di perantauan Roy bertemu dengan seorang gadis
dewasa, yang pernah dikenalnya secara sepintas 10 tahun lalu. Keduanya pun
membangun hubungan pertemanan yang akrab, karena keduanya memang berasal dari
daerah yang sama. Awalnya, pertemanan biasa-biasa saja, kemudian meningkat
menjadi hubungan yang rumit. Pemicunya sederhana, ketika si gadis mengalami
sakit sedinri di rumahnya, Roy sebagai teman mengambil inisiatif untuk
mengurusnya. Selama beberapa hari Roy membatu gadis temannya itu, tiba-tiba
muncul persaan aneh, yang awalnya hanya rasa peduli dan simpati biasa,
berkembang menjadi benih cinta. Roy “jatuh cinta”.
Setelah sebulan Roy memendam cintanya, akhirnya disampaikan
juga kepada si gadis. Bagi Roy, ini bukanlah hal mudah, mengungkapkan rasa
cinta kepada seseorang yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Lagi pula,
Roy tahu persis kalau si gadis telah memiliki pacar di kampung halamannya.
Sementara itu, Roy juga menyadari kalau dirinya adalah pria beristri yang harus
bertanggung jawab kepada keluarganya. Dengan dasar itulah, Roy mulai mengatur
jarak dengan si gadis. Roy ingin melawan takdir cintanya dengan menjauh dari si
gadis. Harapannya, benih cinta itu tidak tumbuh menjadi petaka bagi si gadis
dan keluarganya.
Beberapa hari Roy mencoba menjauh dan bersikap wajar kepada
si gadis. Namun, upaya Roy ternyata gagal. Si gadis kecewa dan tidak bisa
menerima perubahan sikap Roy. Sebagai teman “curhat”, si gadis merasa
kehilangan kakak yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, dan membesarkan
hatinya jika sedang lara.
Akhirnya Roy kembali seperti semula, menjalani hidup yang
akrab dengan si gadis. Meski tersiksa, Roy tidak ingin mengecewakan si gadis
yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Roy hanya berharap, semoga takdir
cinta yang tumbuh tidak mekar menjadi petaka.
Ibu
kalau aku merantau
lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering,
daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air
airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu
dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang
siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku
padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua
pertapaanku
dan ibulah yang
meletakkan aku di sini
saat bunga kembang
menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke
langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk
meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat
samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi,
mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar,
menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara
dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian
lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan
kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku
anakmu
bila aku berlayar
lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu
tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari
yang berselendang bianglala
sesekali datang
padaku
menyuruhku menulis
langit biru
dengan sajakku
(D. Zawawi Imron, Batang-Batang - Madura)
Langganan:
Postingan (Atom)