Kamis, 04 Februari 2016




Terjebak dipusaran senja...... terseret hingga palung terdalam. Tuhan… aku tak pernah menolak takdir. Tapi untuk yang ini, seprti sengkarut yang sulit kuurai. Awalnya, kupikir ini hanyalah kembang hidup di usia  senja. Tapi ternyata, prahara yang membelenggu sukma....

Rabu, 07 Januari 2015

GOWES TO POHUWATO, Rute Neraka Bagi Pemula

(Marisa-Buntulia-Randangan-Wanggarasi 53 km)

Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya Gowes To Pohuwato terlaksana juga. Sabtu sore (13/12/2014) rombongan Makassar Gorontalo Gowes Club (MG2C) berangkat menuju Marisa, ibukota kabupaten Pohowato. Robongan MG2C yang berjumlah sekitar 50 orang tiba di Marisa jam 19.00, kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah dengan warga KKSS di Bele Nusantara yang merupakan skretariat BPD KKSS Pohuwato. Acara rama tamah berlangsung hingga jam 23.00.
Minggu pagi, jam 06.00, seluruh peserta gowes sudah berkumpul di depan hotel Grand Permai Marisa, tempat sebagian peserta menginap. Jam 06,15 peserta gowes bergerak menuju Bele Nusantara untuk sarapan pagi dan senam pemanasan sebelum gowes. Setianya di Bele Nusantara, ibu-ibu dari KKSS Pohuwato sudah siap dengan hidangan bubur kacang ijo dan bubur ikan ala Marisa. Setelah sarapan, peserta gowes melakukan senam pelemasan otot dan pemanasan. Sebelum peserta memulai perjalanan, Ketua KKSS Provinsi Gorontalo, H. Janenal Mappe memberikan arahan tentang rute yang akan ditempuh, dan mengingatkan kepda peserta untuk tertib di jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
Tepat jam 07.00, rombongan MG2C bergerak perlahan menuju arah pantai Marisa dengan dipandu oleh Satuan Pengawal Polres Pohuwato. Perjalanan yang akan menempuh jarak kurang lebih 50 km menuju Wanggarasi, aka
n melewati Buntulia dan Randangan. Etape awal ini hanya melewati jalan-jalan dalam kota Marisa. Dari Bele Nusantara, rombongan menuju jalan Kelapa Dua kemudian berbelok ke kirim memasuki area perkantoran yang disebut Block Plan. Dari sini, iring-iringan menuju Pasar Tua, dimana tempat berdumisilinya sebagian besar warga KKSS Pohuwato.
Setelah berkeliling kota, rombongan tour MG2C melanjutkan perjalanan menuju Buntulia. Mobil Patwal dengan sirinenya berada paling depan dan diikuti oleh peserta gowes. Sepuluh kilo meter pertama ditempuh hanya dengan waktu 20 menit. Melawati jalan datar dan dikiri kanan terhapar persawahan yang menghijau, menjadikan perjalan begitu mengasyikkan. Keceriaan peserta gowes terlihat dari senyun dan canda mereka. H. Tuti, yang memutar musik dangdut di sepedanya menambah semangat peserta gowes. Lagu “Bang Jali” dan “Sakinya tu di sini” pengiringi peserta gowes hingga mencapai tanjakan pertama menuju Puncak Buntulia. Tanjakan yang panjangnya sekitar 2 km dengan kemiringan yang cukup terjal membuat sebagian bikers merasa shock dan terlihat kelelahan. Beberapa bikers tidak bisa mencapai puncak karena kehabisan tenaga, dan terpaksa diangkut dengan mobil operasional MG2C. Ririn, satu satunya peserta perempuan, adalah orang pertama yang harus keluar dari arena. Selain kelelahan, sepeda Ririn juga bermasalah ban depannya. Selain Ririn, sudah ada 4 sepeda di atas mobil.

Kami tiba di puncak pendakian Buntulia, kurang 5 menit jam 08.00. “Ini rute neraka” kata salah seorang peserta sambil memarkir sepedanya dan mencari tempat untuk beristirahat. Agak lama waktu digunakan untuk istirahat di tempat ini. Beberapa bikers terlihat sangat kelelahan, dan mulai melirik mobil operasional MG2C untuk menaikkan sepedanya di mobil tersebut. Saya juga sudah mulai tergoda untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami baru menyelesaikan 15 km dari sekitar 53 km yang harus ditempuh, sungguh jarak yang sangat jauh untuk kalangan pemula. Tapi karena Bapak Kombes Polisi Drs. H Kamaruddin (Komandan Satuan Berimob Polda Gorontalo) bersama Ketua KKSS menantang kita semua untuk menyelesaikan perjalanan maka saya pun bangkit meraih sepeda dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Dudepo.
Jam 8,30 kami melanjutkan perjalanan menurun sepanjang satu kilometer dengan tikungan yang cukup tajam. Masih dua tanjakan sebelum mencapai Pos II di Desa Dudepo. Dua tanjakan  Ini  cukup menguras tenaga, dan membuat rombongan tercerai berai. Sekitar 10 bikers tiba lebih awal di puncak pendakian keempat, kemudian menyusul satu satu dengan jarak sekitar 5 menit.
Di Pos II ini rombongan MG2C disuguhi semangka segar oleh warga setempat. Sambil menikmati semangka, sebagian peserta menyempatkan diri mengurut paha dan betis yang mulai keram.  Sekitar 20 menit waktu yang dihabiskan untuk istirahat di tempat ini.

Dari Pos II Dudepo, perjalanan dilanjutkan menuju Randangan. Jarak yang tersisa masih 25 km hingga garis finis di kawasan pertambakan di Wanggarasi. Beberapa bikers sudah terlihat sangat kelelahan. Ketua BPW KKSS Provinsi Gorontalo H. Jaenal Mappe, terus memberi semangat agar romobongan MG2C dapat menyelesaikan rute “neraka” ini. Saya dan beberapa teman sengaja meluncur lebih dulu agar kelak tidak tertinggal jauh dari para bikers jawara yang memiliki kecepatan tinggi. Masih tersisa tiga perbukitan sebelum sampai di Randangan, sementara matahari semakin terik seakan membakar kulit.
Sekitar tujuh kilometer sebelum memasuki Randangan, Kok Anton mengalami masalah dengan sepedanya. Ratainya putus. Ini memaksa Tim Mekanik yang menyertai kami harus mengangkat sepeda Kok Anton naik ke mobil. Tapi Kok Anton menolak naik mobil. Untuknya  sudah ada 4 sepeda yang nganggur di mobil operasional MG2C, maka salah satu dari sepeda itu diturunkan untuk dipakai Kok Anton melanjutkan perjalanan hingga Randangan. Kami tiba di Randangan (Pos III) jam 10,15.
Di rumahan salah seorang warga KKSS Randangan, kami disuguhi esteler dan berbagai penganan ringan. Rasa dahaga betul-betul terobati. Beberapa warga KKSS menyempatkan diri bersilaturahmi dengan Ketua BPW KKSS, H. Jaenal Mappe dan Kombes Polisi H. Kamaruddin (Dansat BRIMOB Polda Gorontalo). Canda dan tawa lepas bersama dahaga warga KKSS karena dapat bersilaturahmi dengan saudara-saudara yang lama tidak jumpa. Setelah istirahat sekitar 30 menit, dan  tenaga sudah  kembali pulih, maka perjalanan dilanjutkan menuju Wanggarasi.
Jarak tempuh yang masih tersisa sekitar 13 km. Jika rute normal dan tenaga masih maksimal, jarak ini hanya akan ditempuh sekitar 30 menit. Tapi karena masih ada tiga tanjakan yang cukup berat, dan angin kencang menerpa dari arah pantai sangat menguras tenaga, danbikers tidak bisa memacu sepedanya dengan cepat. Ditamba terik mata hari yang sudah di atas kepala dan hawa panas aspal dari bawah, menjadi rute ini betul-betul seperti neraka. 

Lima kilo meter setelah meninggalkan Randangan, sudah setengah dari jumlah robongan gowes harus naik mobil,  mereka sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan. Hawa panas dan angin kencang memaksa mereka untuk meninggalkan sepedanya. Pada jarak 5 km sebelum garis finish, Bapak Dansat Brimob, H. Kamaruddin terlihat mengalami masalah. Paha dan betisnya keram. Tim Teknisi sudah menawari beliau agar tidak melanjutkan perjalanan, tapi karena semangat akhirnya beliau tetap melanjutkan perjalanan hingga garis finish. Pada kilometer yang sama, terlihat dua orang bikers terkapar dipinggir jalan. Ternyata mereka adalah Muhammad yunus Kaseng dan Masbul Mustafa. Kedua bikers tangguh ini harus menyerah karena kedua betisnya mengalami cedera dan kram. Balsem anti kram sudah dioleskan ke betis dan paha keduanya, namun rasa sakit tetap ada. Akhirnya keduanya harus di bimbing manaiki mobil bus Brimob Polda Gorontalo.
Rombongan Gowes MG2C akhirnya finish di kawasan pertambakan Wanggarasi, 53 km dari Kota Marisa, jam 11,45. Hanya belasan peserta gowes yang mencapai garis finis bersama sepedanya, diantaranya; H. Jaenal Mappe (Ketua BPW KKSS), H. Kamaruddin (Dansat Brimob dan Pembina KKSS), Asman Siregar (ketua MG2C), Jasman Muhammad (Sek Wil BPW KKSS), Opa Naviz, Kok Anton, Muhammad Yusuf, Andi Agus, H. Tuti, dll.
Di Wanggarasi ini, peserta gowes disugihi penganan tradisional ala Sulawesi Selatan, nasu bale atau pallumara dan lawa’ paku. Selain itu udang goreng seukuran jempol kaki, dan ikan bakar badeng ikut melengkapi menuh makan siang kami. Di atas rumah panggu di pinggir empang, menambah nikmat dan lahap makan siang itu. Wajah-wajah yang awalnya terlihat lusuh, kembali cerah setalah santap siang.
Inilah rute gowes MG2C yang paling berkesan tahun ini. Rute yang dipilih oleh Ambo Tang Daeng Matteru bersama pengurus BPD KKSS Pohuwato menambah catatan perjalan MG2C dalam missi perdamaian dan silaturahmi.  Selamat !!!, semoga gowes tahun depan bisa lebih baik dan berkesan. ********

Jumat, 12 September 2014

PNPM Mandiri Perdesaan dan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Oleh: Wahyuddin Kessa*

Ketika saya melakukan perjalan ke desa, banyak pelaku PNPM Mandiri Perdesaan  bertanya; “apakah program ini akan terus berlanjut setelah tahun 2014 ?”. Saya tidak serta merta menjawab pertanyaan mereka, apakah program ini berlanjut atau tidak, karena sampai hari ini, saya pun belum ada informasi resmi dari pemerintah pusat mengenai keberlanjutan program tersebut. Informasi yang dapat dipastikan bahwa Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015, tidak lagi menganggarkan bantuan langsung tunai (BLM) untuk program PNPM Mandiri Perdesaan TA 2015. Anggaran yang awalnya disiapkan untuk PNPM MPd sebesar 9,1 triliyun dialihkan menjadi Dana Desa. Jika BLM menjadi dasar dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, maka bisa dipastikan secara programatik program ini berakhir di Desember 2014.
Mengapa begitu besar harapan masyarakat perdesaan terhadap keberlanjutan PNPM Mandiri Perdesaan ? Apakah program ini memang sangat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa ? atau, hanya sekeder pengalihan kegiatan untuk melupakan beban hidup di perdesaan yang semakin berat. Untuk itu kita perlu melihat sejarah dan perkembangannya sampai saat ini.
Sejarah PNPM Mandiri Perdesaan
Berawal dari menurunnya kinerja ekonomi Indonesia dan meningkatnya angka kemiskinan pada pertengahan 1990, Pemerintah Orde Baru mulai menyadari untuk merubah pendekatan pembangunannya. Trilogi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ternyata gagal membuat masyarakat perdesaan menjadi sejahtera. Bukan hanya itu, bangunan ekonimi Indoensia juga melahirkan kesenjangan yang sangat besar diberbagai bidang.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Pemerintah Orde Baru mulai menggagas pembangunan yang berorintasi perdesaan dengan meluncurkan program Impres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994. Progra IDT bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan dengan memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok-kelompok masyarakat (POKMAS) dengan model pengelolaan dana bergulir. Program IDT masih dianggap belum cukup, maka pada tahun 1996, pemerintah kembali meluncurkan program P3DT yang dikhususkan untuk memperbaiki infrastruktur perdesaan dan membuka isolasi yang menjadi penghambat bekembangnya usaha-usaha masyarakat diperdesaan. Belajar dari kelemahan dan kekuatan  IDT dan P3DT, kemudian Pemerintah merancang Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang menggabungkan dua kegiatan tersebut kedalam satu program besar. PPK mulai diuji coba pada tahun 1997 di empat provinsi, kemudian diimplementasikan secara terbatas di 16 provinsi pada tahun 1998. Dan satu tahun kemudian, pemerintah kemabli meluncurkan PPK Perkotaan (P2KP) untuk diujicoba dibeberapa kota, yang diharapkan menjadi sulusi bagi kemiskinan di perkotaan.
Setelah berjalan kurang lebih tujuh tahun, PPK bermutasi menjadi PNPM-PPK pada tahun 2005-2006 dengan melakukan  beberapa perbaikan pada mekanisme dan struktur programnya. Karena dianggap berhasil membangun wilayah perdesaan,  maka pada tahun 2007 Presiden RI Susilo Babang Yudoyono meluncurkan program ini dengan nama PNPM Mandiri di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Setelah peluncuran tersebut, maka PNPM Mandiri Perdesaan telah menjadi program pemberdayaan masyarakat terbesar dan telah menjangkau hampir seluruh wilayah perdesaan Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari PNPM Mandiri Perdesaan ?. Sebagaimana disebutkan di dalam petunjuk teknis operasional (PTO) PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2014, bahwa “Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan”. Dan secara khusus bertujuan; 1) Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan, 2) Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal, 3) Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif, 4) Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat, 5) Melembagakan pengelolaan dana bergulir, 6) Mendorong terbentuk dan berkembangnya kerjasama antar desa, 7) Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan.
Pertanyaan selanjutnya adalah; apakah tujuan tersebut telah tercapai ? Jawabannya sangat relative. Jika dilihat dari sudut pandang angka-angka kuantitatif, kita bisa mengatakan tujuan-tujuan tersebut telah terlaksana dan telah dicapai. Akan tetapi jika kita berbicara pencapaian kualitativ dan substantive, tentu akan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. 
Jika melihat data yang dirilis oleh Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI), PNPM Mandiri Perdesaan telah berhasil membangun sejumlah sarana dan prasarana social ekonomi di perdesaan. Cakupan program pemberdayaan masyarakat saat ini, telah memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), dan menyerap 11 juta tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi mencapai 60% dan 48% diantaranya adalah perempuan.
Selain itu IPPMI juga mencatat, program pemberdayaan masyarakat tersebut juga telah meningkatkan modal sosial berupa semangat gotong-royong dan nilai keswadayaan baik di desa maupun di kecamatan. Adanya efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok masyarakat yang mencapai 15-50%, serta telah terbentuknya aset-aset berupa 9 Triliun dana bergulir, dan aset fisik lainnya berupa 104,966 km panjang jalan, 8,532 jembatan, 6,756 irigasi, 103,026 sistem air bersih, dan 27,503 sekolah.
Dan yang tidak kalah penting, pemerintah telah melakukan investasi sumber daya manusia melalui program pemberdayaan masyarakat selama 15 tahun terakhir dengan nilai lebih dari 10 Triliun untuk 25,378 orang dengan kualifikasi sarjana strata satu (S-1) disertai kompetensi sebagai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM). Pendamping/Fasilitator tersebut juga sudah melatih dan memfasilitasi penguatan kapasitas sekitar 642,115 kader pemberdayaan masyarakat desa yang bekerja langsung bersama masyarakat. Bahkan pelatihan-pelatihan terbatas juga telah diberikan kepada hampir seluruh kepala desa di 72.944 desa.
Dari data dan fakta-fakta tersebut, tentu banyak pihak yang berkepentingan untuk melanjutkan PNPM Mandiri Perdesaan karena dinilai telah membawa perubahan mendasar di perdesaan. Tetapi sebagai “program” tentu PNPM Mandiri Perdesaan pasti akan berakhir. Pertanyaannya kapan waktu yang tetapt untuk mengakhirinya, dan bagaimana caranya. Apalagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2013 Tentang Desa, yang merupakan manifestasi dari gagasan dan cita-cita PNPM Mandiri Perdesaan, tentu semakin memperkuat duagaan akan berakhirnya PNPM Mandir Perdesaan secara programtik, meski semangatnya terus tumbuh bersama dilaksanakannya UU Desa pada Januria 2015.

Pelaksanaan Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa.
Jika tidak ada aral melintang, Januari 2015 Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa akan dimulai pelaksanaannya. Dua peraturan pemerintah (PP) telah diterbitkan untuk mendukung pelaksanaan UU Desa tersebut, masing-masing; PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang ; Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Tinggal menunggu beberapa Peraturan Menteri yang akan mengatur teknis pelaksanaan UU Desa tersebut, diantaranya; Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur tentang mekanisme pendampingan, dan Permendagri yang mengatur tentang perencanaan, serta Permendagri yang mengatur tentang pengelolaan keuangan dan pertanggung jawaban pemeritah desa.
Bagaimana kesiapan Pemerintah Desa dan Masyarakatnya dalam pelaksanaan Undang Undang Desa ? Apakah mereka sudah memahami hakekat dari pelaksanaan UU Desa tersebut ? Dan apakah mereka sanggup mengelola dana desa secara efektif dan efesien, yang akan menjadi kewenangannya ? Pertanyaan ini banyak dilontarkan oleh pemerhati masalah perdesaan, karena melihat kondisi Pemerintah Desa saat ini yang belum sesuai harapan.  Masih banyak Pemerintah Desa yang kurang memahami tugas dan fungsinya, dan apa saja yang harus mereka persiapkan dalam rangka menjalankan roda pemeritahannya.
Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka implementasi Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa. Pertama yang harus dilakukan Pemerintah adalah mengkonsulidasi seluruh dana program berbasis desa dan menerbitkan aturan dan kebijakan terkait dengan pengelolaan dana tersebut agar tidak tumpang tindih dengan Dana Desa. Ini penting dilakukan agar optimalisasi penganggaran pembangunan desa dapat diwujudkan, mengingat sampai saat ini Pemerintah baru bisa menyiapkan Rp. 9,1 triluyun untuk Dana Desa. Kedua, Pemerintah harus memastikan dan mendorong Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi kesiapan Pemerintah Desa dalam hal penyusunan RPJM Desa, RKP Desa, APBDesa dan penataan kelembagaan desa. Sebagaimana diatur di dalam PP 43 tahun 2014, pasal 115 dan pasal 116, mewajibkan Pemerintah Desa memiliki RPJM Des, RKPDes dan APBDes sebagai acuan perencanaan dan pengaanggaran. Demikian juga yang diatur di dalam PP 60 tahun 2014, pasal 20 menyebutkan bahwa penggunaan Dana Desa mengacu pada RPJM Desa dan RKP Desa. Berdasarkan pengamatan saya, masih sebagian besar Pemerintah Desa belum memiliki RPJM Desa sebagaimana diatur di dalam Permendagri No.66 tahun 2007.
Selain dua hal tersebut di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah Pemerintah  harus segera melakukan  peningkatan  kapasitas aparatur pemerintah desa dan masyarakatnya, serta menyediakan pendamping desa dengan mendayagunakan fasilitator pemberdayaan masyarakat yang sudah ada. Agaknya sulit membayangkan bagaimana inplemntasi UU Desa bisa berjalan tahun depan tanpa adanya pendampingan. Untuk itu, proses pendampingan merupakan keniscayaan, agar implementasi UU Desa tidak menjadi bencana bagi Pemerintah dan masyarakat Desa.
Lalu apa saja yang menjadi fokus dan tjuan dari Undang-Undang Desa. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 UU Desa, bahwa “Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan  potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan”. Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan social. Selain itu, pada pasal  83 juga di sebutkan “Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif”.

Jika membandingkan antara rumusan tujuan dari PNPM Mandiri Perdesaan dengan fokus dan tujuan Undang Undang Desa, kita dapat melihat adanya persamaan substantive. Begitupun proses dan perencanaan yang diatur dalam UU Desa, seluruhnya mengadopsi model perencanaan partisipatif yang dikembangkan oleh PNPM Mandiri Perdesaan. Jadi, apa bila PNPM Mandiri Perdesaan berakhir secara programatik tahun 2014 ini, maka bisa dipastikan dengan diberlakukannya UU Desa tahun depan akan menjadikan semangat dan roh PNPM Mandiri Perdesaan tetap hidup dan berkelanjutan. Untuk itu, tidak perlu ada kekhawatiran mengenai berhentinya “semangat pemberdayaan masyarakat” di perdesaan, karena semangat tersebut telah terakomodasi secara berkelanjutan melalui Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.****

*Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Ekonmi Perdesaan dan Koordinator Provinsi PNPM Mandiri Perdesaan Provinsi Goro

Kamis, 01 Mei 2014

MAY DAY, SELAMAT HARI BURUH KAWAN.



Sekitar 232 tahun yang lalu, gerakan buruh internasional berhasil menetapkan “Hari Buruh” pertama di Dunia, tepatnya tanggal 5 September 1882 di Kota New York, yang diikuti oleh sekitar 20.000 orang buruh, yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.
Pada tahun 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang menjadikannya hari libur umum. Pada 1894. Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.
Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh selalu menjadi perhatian public. Bukan karena jumlah massa yang ikut pawai dan memacetkan Jakarta, tapi issue tunggang menunggangi gerakan buruh selalu menjadi alasan keamanan untuk melarang demo dalam peringatan “Hari Buruh”.  Tapi, kita tidak perlu berkecil hati, karena “May Day” sudah dijadikan hari libur nasional. SELAMAT HARI BURUH, KAWAN. SEMOGA PERJUANGAN KITA  DAPAT MENSEJAHTERAKAN KAUM BURUH INDONESIA.

PULAU SARONDE, Surga di Bibir Pacific



Pulau Saronde, Surga di bibir Pacific.

Taman Surga di bibir Pacific, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan dan kemolekan Pulau Saronde. Pulau mungil yang merupakan bagian dari Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, memiliki keindahan alam laut yang luar biasa. Pasir putih yang halus berpadu dengan batu-batu hitam yang besar, menjadikan pulai ini terlihat sangat eksotik. Air lautnya yang jernih, membuat kita dapat melihat bunga-bunga karang yang asri dikedalaman 1,5 – 2 meter. Sungguh pemandangan yang mempesona.
Pasir putih, dan batuan warna hitam.
Untuk mencapai Pulau Saronde, tidak begitu sulit. Dari Kota Gorontalo, kita bisa menggunakan kendaraan darat menuju Kwandang, ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara. Jarak antara Kota Gorontalo dengan Kwandang, sekitar 50 km, dengan waktu tempuh sekitar satu sengah jam. Dari Kwandang menuju Pulau Saronde, kita bisa naik perahu “katin-ting” dengan sewa sekitar Rp. 200.000,- . Dari pelabuhan Kawandang menuju Pulau Saronde, ditempuh dengan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Ada banyak perahu nelayan yang siap mengantar kita ke Saronde, jika harga carter perahu disepakati. Memang belum ada angkutan penyeberangan yang regular untuk mengangkut wisatawan yang berkunjung ke Saronde. Mungkin karena belum banyak pengunjung yang berwisata ke pulai ini.
Air laut yang jernih
Perjalanan saya ke Pulau Saronde bukanlah tujuan utama. Sebenarnya, saya ingin mengunjungi program-program yang dibiayai PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Ponelo Kepulauan. Karena sudah lama saya dengar cerita keindahan Pulau Saronde, maka saya sempatkan diri untuk mengunjungi polau ini. Untuk itu, saya minta Wilco, FK Kecamatan Ponelo Kepulauan, mempersiapkan perahu yang lebih baik, agar saya bisa menyeberang ke Saronde.
Rabu (30 Maret 2014), pagi jam 6.00, saya tinggalkan kamar kos saya menuju Kwandang. Sekitar jam 7,30 saya sudah tiba di pelabuhan Kwandang. Sambil menunggu perahu yang akan mengantar saya ke Ponelo dan Saronde, saya menyempatkan diri sarapan pagi di area pelabuhan. Tepat jam 8.00, Wilco memberi tahu saya kalau perahu sudah siap diberangkatkan. Kami tinggalkan pelabuhan Kwandang, jam 8.15 menuju Pulau Saronde. Sengaja kami langsung ke Pulau Saronde, karena di pagi hari laut masih teduh.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Saronde, kami disuguhi pemandangan alam laut yang sangat elok. Biru laut yang teduh, berpadu dengan warna kehijauan gugusan pulau-pulau dengan nyiur melambai, menjadikan perjalan satu jam terasa singkat. Terumbu karang di kedalam 2 meter, terlihat jelas dari atas kantinting. Iakn-ikan karang terlihat bergerombol bermain di sela-sela karang yang masih perwan. Sungguh perjalanan yang mengasyikkan…

Kami tiba di Pulau Saronde jam 9,15. Wilco bersama adik sepupunya, memasang jangkar dan mengikatkan perahu. Saya sedikit terperangah melihat hamparan pasir putih yang begitu luas dengan biru laut yang kontras, menjadikan pemandangan “ibarat lukisan” sang maestro. Kondisi pulau sangat sepi, hanya ada seorang prempuan paru baya sedang menyapu di sekitar gazebo yang sudah disiapkan untuk pengunjung. Sepertinya, hari itu hanya kami yang mengunjungi pulai ini.
Setelah beristirahat sejenak, kami menyempatkan diri mengelilingi pulau yang lebarnya sekitar 3 heaktar ini. Disisi barat Pulau Saronde terdapat gugusan batu besar di sela-sela hutan mangrove yang masih tersisa. Melihat jenis batuannya, kelihatannya ini bukan batu karang, tapi seperti batuan gunung berapi (batu vulakno). Batu-batu besar seukuran kerbau tersebut bertebaran menambah keunikan pulau ini. Air mulai surut, sehingga membuat kami leluasa melihat terumbu karang yang ada disekitar pulau. Rumput padang lamun melambai-lambai karena terbawa arus pasang. Kami tak hentin-hentinya mengagumi keindahan Saronde…
Mendorong Perahu
Puas mengelilingi pulau, kami menganti pakaian untuk mandi. Sekitar satu jam kami berendam di air laut yang jernih. Sambil bermain dengan “bintang laut” yang banyak menghiasi pesisir Saronde, saya merenung; betapa indahnya negeri ini, tapi mengapa masih banyak nelayan disekitar Saronde yang hidupnya miskin ? Dari informasi yang saya peroleh, bahwa Pulau Saronde sudah di kontrakkan kepada swasta. Dan mudah-mudahan masyarakat di sekitar Saronde masih bisa memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisatanya.

Dapat iakan karang, hehehehe
Jam 12.00, kami bergegas meninggalkan Saronde. Air surut membuat perahu kami kandas, sehingga harus menunggu sekitar 15 menit untuk mendorongnya ke laut. Setelah berjuang sekitar 10 menit, barulah perahu kami dapat kembali mengapung dan siap meninggalkan Saronde. Sebelum kembali ke Kawandang, kami menyempatkan singgah di gugusan karang untuk memancing. Dengan alat pancing tradisional, saya dan Wilco mencoba peruntungan. Setelah lima menit pancing kami turunkan, Wilco lebih dulu mendapat ikan batu (jenis kerapuh). Tidak lama kemudian saya pun berhasil menaikkan satu ikan karang dengan ukuran telapak tangan. Luar bisas, saya betul-betul menikmati perjalanan hari ini….