Mengadu nasib di keremangan danau Limboto..... |
Tampilkan postingan dengan label Cakrawala. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cakrawala. Tampilkan semua postingan
Jumat, 18 September 2015
Jumat, 12 September 2014
PNPM Mandiri Perdesaan dan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Oleh: Wahyuddin Kessa*
Ketika saya melakukan
perjalan ke desa, banyak pelaku PNPM Mandiri Perdesaan bertanya; “apakah program ini akan terus berlanjut setelah tahun 2014 ?”. Saya tidak
serta merta menjawab pertanyaan mereka, apakah program ini berlanjut atau
tidak, karena sampai hari ini, saya pun belum ada informasi
resmi dari pemerintah pusat mengenai
keberlanjutan program tersebut. Informasi yang dapat dipastikan bahwa Rancangan
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015, tidak lagi menganggarkan
bantuan langsung tunai (BLM) untuk program PNPM Mandiri Perdesaan TA 2015.
Anggaran yang awalnya disiapkan untuk PNPM MPd sebesar 9,1 triliyun dialihkan
menjadi Dana Desa. Jika BLM menjadi dasar dari pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, maka bisa
dipastikan secara programatik program ini berakhir
di Desember 2014.
Mengapa begitu besar harapan masyarakat perdesaan terhadap keberlanjutan
PNPM Mandiri Perdesaan ? Apakah program ini memang sangat membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa ? atau, hanya sekeder pengalihan kegiatan untuk
melupakan beban hidup di perdesaan yang semakin berat. Untuk itu kita perlu
melihat sejarah dan perkembangannya sampai saat ini.
Sejarah PNPM Mandiri Perdesaan
Berawal dari
menurunnya kinerja ekonomi Indonesia dan meningkatnya angka kemiskinan pada
pertengahan 1990, Pemerintah Orde Baru mulai menyadari untuk merubah pendekatan
pembangunannya. Trilogi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ternyata
gagal membuat masyarakat perdesaan menjadi sejahtera. Bukan hanya itu, bangunan
ekonimi Indoensia juga melahirkan kesenjangan yang sangat besar diberbagai
bidang.
Berangkat dari
permasalahan tersebut, Pemerintah Orde Baru mulai menggagas pembangunan yang
berorintasi perdesaan dengan meluncurkan program Impres Desa Tertinggal (IDT)
pada tahun 1994. Progra IDT bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan dengan
memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok-kelompok masyarakat (POKMAS) dengan
model pengelolaan dana bergulir. Program IDT masih dianggap belum cukup, maka pada
tahun 1996, pemerintah kembali meluncurkan program P3DT yang dikhususkan untuk
memperbaiki infrastruktur perdesaan dan membuka isolasi yang menjadi penghambat
bekembangnya usaha-usaha masyarakat diperdesaan. Belajar dari kelemahan dan
kekuatan IDT dan P3DT, kemudian Pemerintah
merancang Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang menggabungkan dua kegiatan
tersebut kedalam satu program besar. PPK mulai diuji coba pada tahun 1997 di
empat provinsi, kemudian diimplementasikan secara terbatas di 16 provinsi pada
tahun 1998. Dan satu tahun kemudian, pemerintah kemabli meluncurkan PPK
Perkotaan (P2KP) untuk diujicoba dibeberapa kota, yang diharapkan menjadi
sulusi bagi kemiskinan di perkotaan.
Setelah berjalan kurang lebih tujuh tahun, PPK bermutasi menjadi
PNPM-PPK pada tahun 2005-2006 dengan melakukan
beberapa perbaikan pada mekanisme dan struktur programnya. Karena
dianggap berhasil membangun wilayah perdesaan, maka pada tahun 2007 Presiden RI Susilo Babang
Yudoyono meluncurkan program ini dengan nama PNPM Mandiri di Kota Palu,
Sulawesi Tengah. Setelah peluncuran tersebut, maka PNPM Mandiri Perdesaan telah
menjadi program pemberdayaan masyarakat terbesar dan telah menjangkau hampir
seluruh wilayah perdesaan Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari PNPM Mandiri Perdesaan ?. Sebagaimana
disebutkan di dalam petunjuk teknis operasional (PTO) PNPM Mandiri Perdesaan
tahun 2014, bahwa “Tujuan
Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan
kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam
pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan”. Dan secara khusus bertujuan; 1) Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat,
khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan
keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan, 2) Melembagakan
pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal, 3) Mengembangkan
kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan
partisipatif, 4) Menyediakan prasarana sarana
sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat, 5) Melembagakan
pengelolaan dana bergulir, 6) Mendorong terbentuk
dan berkembangnya kerjasama antar desa, 7) Mengembangkan kerja
sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan.
Pertanyaan selanjutnya adalah; apakah tujuan tersebut telah tercapai ? Jawabannya
sangat relative. Jika dilihat dari sudut pandang angka-angka kuantitatif, kita
bisa mengatakan tujuan-tujuan tersebut telah terlaksana dan telah dicapai. Akan
tetapi jika kita berbicara pencapaian kualitativ dan substantive, tentu akan
menimbulkan pendapat yang berbeda-beda.
Jika melihat data yang dirilis oleh Ikatan Pelaku Pemberdayaan
Masyarakat Indonesia (IPPMI), PNPM Mandiri Perdesaan telah berhasil membangun
sejumlah sarana dan prasarana social ekonomi di perdesaan. Cakupan program
pemberdayaan masyarakat saat
ini, telah memberi manfaat bagi
13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), dan menyerap 11 juta
tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi mencapai 60% dan 48% diantaranya
adalah perempuan.
Selain itu IPPMI
juga mencatat, program pemberdayaan masyarakat tersebut juga
telah meningkatkan modal sosial berupa semangat gotong-royong
dan nilai keswadayaan
baik di desa maupun di kecamatan. Adanya
efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok masyarakat yang mencapai
15-50%, serta telah terbentuknya aset-aset berupa 9 Triliun dana bergulir, dan
aset fisik lainnya berupa 104,966 km panjang jalan, 8,532 jembatan, 6,756
irigasi, 103,026 sistem air bersih, dan 27,503 sekolah.
Dan yang tidak kalah
penting, pemerintah telah melakukan investasi sumber daya manusia melalui
program pemberdayaan masyarakat selama 15 tahun terakhir dengan nilai lebih
dari 10 Triliun untuk 25,378 orang dengan kualifikasi sarjana strata satu (S-1)
disertai kompetensi sebagai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM). Pendamping/Fasilitator
tersebut juga sudah melatih dan memfasilitasi penguatan kapasitas sekitar
642,115 kader pemberdayaan masyarakat desa yang bekerja langsung
bersama masyarakat. Bahkan pelatihan-pelatihan terbatas juga telah diberikan
kepada hampir seluruh kepala desa di 72.944 desa.
Dari data dan fakta-fakta tersebut, tentu banyak pihak yang
berkepentingan untuk melanjutkan PNPM Mandiri Perdesaan karena dinilai telah
membawa perubahan mendasar di perdesaan. Tetapi sebagai “program” tentu PNPM Mandiri Perdesaan pasti akan berakhir.
Pertanyaannya kapan waktu yang tetapt untuk mengakhirinya, dan bagaimana
caranya. Apalagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2013 Tentang Desa,
yang merupakan manifestasi dari gagasan dan cita-cita PNPM Mandiri Perdesaan,
tentu semakin memperkuat duagaan akan berakhirnya PNPM Mandir Perdesaan secara
programtik, meski semangatnya terus tumbuh bersama dilaksanakannya UU Desa pada
Januria 2015.
Pelaksanaan Undang Undang
No.6 tahun 2014 tentang Desa.
Jika tidak ada aral melintang, Januari 2015 Undang Undang No.6 tahun
2014 tentang Desa akan dimulai pelaksanaannya. Dua peraturan pemerintah (PP)
telah diterbitkan untuk mendukung pelaksanaan UU Desa tersebut, masing-masing;
PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa, dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang ; Dana Desa Yang Bersumber
Dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Tinggal menunggu beberapa
Peraturan Menteri yang akan mengatur teknis pelaksanaan UU Desa tersebut,
diantaranya; Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur tentang
mekanisme pendampingan, dan Permendagri yang mengatur tentang perencanaan,
serta Permendagri yang mengatur tentang pengelolaan keuangan dan pertanggung
jawaban pemeritah desa.
Bagaimana kesiapan Pemerintah Desa dan Masyarakatnya dalam pelaksanaan
Undang Undang Desa ? Apakah mereka sudah memahami hakekat dari pelaksanaan UU
Desa tersebut ? Dan apakah mereka sanggup mengelola dana desa secara efektif
dan efesien, yang akan menjadi kewenangannya ? Pertanyaan ini banyak
dilontarkan oleh pemerhati masalah perdesaan, karena melihat kondisi Pemerintah
Desa saat ini yang belum sesuai harapan.
Masih banyak Pemerintah Desa yang kurang memahami tugas dan fungsinya,
dan apa saja yang harus mereka persiapkan dalam rangka menjalankan roda
pemeritahannya.
Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka implementasi
Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa. Pertama yang harus dilakukan Pemerintah
adalah mengkonsulidasi seluruh dana program berbasis desa dan menerbitkan aturan dan
kebijakan terkait dengan pengelolaan dana tersebut
agar tidak tumpang tindih dengan Dana Desa. Ini penting dilakukan agar
optimalisasi penganggaran pembangunan desa dapat diwujudkan, mengingat sampai
saat ini Pemerintah baru bisa menyiapkan Rp. 9,1 triluyun untuk Dana Desa.
Kedua, Pemerintah harus memastikan dan mendorong Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi kesiapan Pemerintah Desa
dalam hal penyusunan RPJM Desa, RKP Desa, APBDesa dan penataan kelembagaan desa. Sebagaimana diatur di dalam PP 43 tahun 2014, pasal 115 dan pasal 116,
mewajibkan Pemerintah Desa memiliki RPJM Des, RKPDes dan APBDes sebagai acuan
perencanaan dan pengaanggaran. Demikian juga yang diatur di dalam PP 60 tahun
2014, pasal 20 menyebutkan bahwa penggunaan Dana Desa mengacu pada RPJM Desa
dan RKP Desa. Berdasarkan pengamatan saya, masih sebagian besar Pemerintah Desa
belum memiliki RPJM Desa sebagaimana diatur di dalam Permendagri No.66 tahun
2007.
Selain dua hal tersebut di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah
Pemerintah harus segera melakukan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa
dan masyarakatnya, serta menyediakan pendamping desa dengan mendayagunakan
fasilitator pemberdayaan masyarakat yang sudah ada. Agaknya sulit membayangkan bagaimana inplemntasi UU Desa bisa berjalan
tahun depan tanpa adanya pendampingan. Untuk itu, proses pendampingan merupakan
keniscayaan, agar implementasi UU Desa tidak menjadi bencana bagi Pemerintah
dan masyarakat Desa.
Lalu apa saja yang menjadi
fokus dan tjuan dari Undang-Undang Desa. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 78
UU Desa, bahwa “Pembangunan Desa
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia
serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan
sarana dan prasarana Desa, pengembangan
potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
secara berkelanjutan”. Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan dengan mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan social.
Selain itu, pada pasal 83 juga di
sebutkan “Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat
dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat
Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif”.
Jika membandingkan antara rumusan tujuan dari PNPM Mandiri Perdesaan
dengan fokus dan tujuan Undang Undang Desa, kita dapat melihat adanya persamaan
substantive. Begitupun proses dan perencanaan yang diatur dalam UU Desa,
seluruhnya mengadopsi model perencanaan partisipatif yang dikembangkan oleh
PNPM Mandiri Perdesaan. Jadi, apa bila PNPM Mandiri Perdesaan berakhir secara
programatik tahun 2014 ini, maka bisa dipastikan dengan diberlakukannya UU Desa
tahun depan akan menjadikan semangat dan roh PNPM Mandiri Perdesaan tetap hidup
dan berkelanjutan. Untuk itu, tidak perlu ada kekhawatiran mengenai berhentinya
“semangat pemberdayaan masyarakat” di perdesaan, karena semangat tersebut telah
terakomodasi secara berkelanjutan melalui Undang Undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa.****
Kamis, 01 Mei 2014
MAY DAY, SELAMAT HARI BURUH KAWAN.
Sekitar
232 tahun yang lalu, gerakan buruh internasional berhasil menetapkan “Hari
Buruh” pertama di Dunia, tepatnya tanggal 5 September 1882 di Kota New York,
yang diikuti oleh sekitar 20.000 orang buruh, yang membawa spanduk bertulisan 8
jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran
penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya,
gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.
Pada
tahun 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang
menjadikannya hari libur umum. Pada 1894. Presider Grover Cleveland menandatangani
sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari
libur umum resmi nasional.
Kongres
Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa,
Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini
menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang
sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS:
Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika
Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja
seluruh dunia.
Satu
Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886
oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk,
selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru
perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1
Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor
Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872,
menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei
1886.
Di
Indonesia, peringatan Hari Buruh selalu menjadi perhatian public. Bukan karena
jumlah massa yang ikut pawai dan memacetkan Jakarta, tapi issue tunggang
menunggangi gerakan buruh selalu menjadi alasan keamanan untuk melarang demo
dalam peringatan “Hari Buruh”. Tapi,
kita tidak perlu berkecil hati, karena “May Day” sudah dijadikan hari libur
nasional. SELAMAT HARI BURUH, KAWAN. SEMOGA PERJUANGAN KITA DAPAT MENSEJAHTERAKAN KAUM BURUH INDONESIA.
Jumat, 11 April 2014
INDONESIA MEMILIH 2014
Sehari sebelum hari pencoblosan, semua orang sibuk saling
bertanya; “apakah sudah dapat undangan untuk memilih ?” Saya dan beberapa teman
yang tinggal di rumah kost, tidak terlalu yakain apakah kami dapat undangan.
Tetapi setelah kemabli ke tempat kost, saya menemukan selembar kertas yang diselipkan
di bawah pintu. Kubaca secara seksama, ternyata
undangan untuk memilih di TPS VIII, Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana,
Kota Gorontalo. Saya merasa lega, karena mendapat undangan memilih.
Di hari pencoblosan, saya bersiap lebih pagi. Jam 6.00, saya
sudah menyiapkan diri untuk berangkat ke TPS. Sepeda onthel saya bersihkan dan
memompa ban depannya yang kempes. Saya akan naik sepeda ke TPS untuk melakukan
pencoblosan. Jam 7.00, saya tinggalkan
kamar kos dengan tujuan keliling kota sebelum menuju TPS VIII tempat saya
memilih. Kukayuh La Bolong secara perlahan, menikmati segarnya udara pagi
sambil melihat kesibukan di beberapa TPS yang saya lewati. Ada persaan bangga
dan haru menyaksikan kesibukan petugas KPPS dan masyarakat sekitar dalam mempersiapkan
Pemilu Legislatif hari ini. Ternyata jiwa kebangsaan kita masih cukup kuat. Mereka
mempersiapkan suatu rangkaian perhelatan demokrasi, yang mudah-mudah membawa
perbaikan di negeri tercinta ini.
Hampir satu jam saya keliling kota dengan sepeda guna menyaksikan
suasana di hari Pemilu Legislatif, 9 April
2014 ini. Setelah keeling kota, saya menuju TPS tempat saya memilih.
Saya tiba jam 8.00 di TPS VIII Kelurahan Tapa, tapi acara belum dimulai.
Panitia masih sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ini terlambat dari jadwal
yang ada di undangan. Seharusnya pencoblosan sudah dimulai jam 7.30, tapi
sampai 8.15 proses pencoblosan belum dimulai. Daripada menunggu agak lama, saya
tinggalkan TPS VIII menuju arah jalan
Madura untuk cari sarapan pagi.
Setelah sarapan pagi, saya kembali ke tempat kost untuk
mengajak Pak Yusuf dan Pak Muin (teman kos saya) untuk sama-sama ke TPS VIII.
Tapi ternyata mereka sudah terlebih dulu berada di TPS untuk mengantri. Saya
menyusul mereka, dan bertemu di area TPS. Sebelum kami menyerahkan undangan ke
KPPS, kami berdiskusi mengenai siapa yang harus kami pilih. Dari sekian banyak
Caleg, hanya beberapa orang yang kami kenal. Disamping melihat daftar Caleg,
saya juga melihat daftar pemilih yang dipajang di papan informasi. Nama saya ada
di nomor urut 6 lengkap dengan nomor identis KTP saya. Ini artinya saya benar
pemilih di TPS ini.
Tiga undangan kami serahkan ke KPPS secara bersamaan. Setelah
itu kami langsung duduk di ruangan yang sudah disediakan, menungggu giliran
dipanggil untuk menggunakan hak pilih kami. Sektara 45 menit berlalu, nama kami
belum dipanggil. Saya mulai curiga, jangan-jangan ini ada permainan. Ada orang
yang belakangan menyetor undangannya tapi sudah dipanggil, sementara kami sudah
hampir satu jama menunggu belum dipangil juga. Saya merasa, ini ada yang tidak
beres. Akhirnya Pak Muin dan Pak Yusuf dipanggi namanya setelah satu jam kami
menunggu. Tapi nama saya belum dipanggil. Akhirnya saya protes ke KPPS, dan
ternyata seorang bapak juga ikut melakukan memperotes. Saya datangi Ketua KPPS
menanyakan kenapa saya belum dapat giliran mencoblos, sementara 2 teman saya
sudah dipanggil, pada hal saya menyetor undangan secara bersamaan. Ketua KPPS
berusaha berkelit, tapi karena banyak orang yang memperotes akhirnya mereka
mencari nama saya dan mempersilahkan
saya untuk mengambil kertas suara.
Sebelum ke bilik suara, sekali lagi saya mengoreksi KPPS.
Seluruh pemilih sebelum saya, tidak ada yang diperiksa tangannya apakah sudah
ada bekas tinta atau belum ada sebagai bukti seseorang sudah menggunakan hak
pilihnya atau belum. “Seharusnya Ibu memeriksa jari tangan mereka sebelum
memberikan kertas suara, agar Ibu bisa memastikan mereka belum menggunakan hak
pilihnya di tempat lain” , saya menyarakan ke Ketua KPPS. Itulah tujuannya
mengapa setiap pemilih harus mencelupkan jari tangannya pada tinta yang sudah
disediakan, setelah mereka menggunakan hak pilihnya. Kemudian Ketua KPPS berjanji
akan menjalankan prosedur yang saya sampaikan.
Saya ambil kertas suara empat lembar, masing-masing untuk
DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Melangkah pasti menuju bilik
suara dengan pilihan yang sudah ada di hati. Dua menit, empat kertas suara
selesai saya coblos, kemudian saya lipat, dan membawanya ke kotak suara yang
sudah disediakan. Legah, akhirnya saya bisa menggunakan hak pilih saya.****
Kamis, 27 Maret 2014
MENJADI PEMILIH CERDAS
Oleh Wahyuddin Kessa |
Jika tidak ada perubahan jadwal, tanggal 9 April 2014 akan menjadi hari yang
sangat penting bagi bangsa Indonesia. Tanggal tersebut telah diteteapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai hari pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan
DPD untuk masa bakti 2014-2019. Momentum Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014
sangat menentukan arah dan perkebangan politik kenegaraan kita ke depan,
sehingga sangat penting bagi kita semua untuk mengambil bagian dalam perhelatan
demokrasi tersebut.
Belajar dari tiga kali
Pemilu anggota legislatif sejak rezim
Orde Baru tumbang, cukup memberi kita pelajaran berharga tentang bagaimana memilih wakil rahyat yang
akan duduk di DPR, DPD dan DPRD. Tentu kita tidak ingin mengulang kesalahan
(salah pilih) di Pemilu Legislative tahun 2014. Untuk itu kita harus menjadi
“pemilih yang bertanggung-jawab”, cerdas dalam memilih wakil yang akan
menentukan nasib bangsa kita untuk masa lima tahun kedepan.
Mengkritis
Janji Caleg
Setiap Pemilu anggota
legislative, bermunculan banyak janji dari masing-masing calon anggota legislative
(Caleg). Itu lumrah dan wajar saja. Yang perlu kita cermati adalah apa isi
janji Caleg tersebut, dan bagaimana caranya berjanji ? Apakah cukup rasional,
realistis dan dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu kita perlu memahami apa
fungsi Anggota DPR, DPRD dan DPD yang akan kita pilih berdasarkan peraturan dan
perundang-undangan yang ada.
Sebagaimana diatur di
dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2009, tentang; Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Bab II, Pasal 69 ayat 1, menyebutkan fungsi DPR adalah; a.
legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Jadi, jika ada
Caleg yang berjanji melebihi dari apa yang sudah diatur oleh Undang-undang,
maka kemungkinan Caleg tersebut tidak memahami fungsi dan tugas sebagai anggota
legislative (jika terpilih). Misalnya; ada Caleg yang berjanji, kalau dia
terpilih akan membangunkan jalan warga di lokasi teresebut. Atau, “kalau saya
terpilih sebagai anggota legislative, saya akan berikan modal usaha”.
Janji-janji seperti ini agaknya tidak relevan dengan fungsi dan tugasnya
sebagai anggota legislative. Selain itu, janji seprrti ini suliut diwujudkan
secara langsung, karena sebagai anggota DPR, DPRD, dan DPD fungsinya adalah
membuat peraturan dan perundang-undangan, memberikan persetujuan anggaran yang
disusun oleh eksekutif, dan melakukan pengawasan terhadap pembangunan dan
jalannya pemerintahan.
Jadi,
seharusnya janji Caleg itu tidak lepas dari fungsinya, sebagaimana yang sudah
diatur di dalam peraturan dan Undang-undang. Misalnya, mereka berjanji untuk
memperjuangkan lahirnya peraturan atau undang-ndang yang memberi peluang kepada
usaha kecil untuk berkembang, atau akan memperjuangkan dan meningkatkan
anggaran pembangunan infrastruktur desa, membuat regulasi yang menguntungkan
petaini, dll. Atau, berjanji akan meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan agar anggarannya tidak di “korupsi” oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Janji-janji seperti ini lebih rasional, realistis dan sesuai fungsinya sebagai legislative.
Tapi
banyak juga Caleg sudah tidak peduli dengan tema-tema kampanyenya. Mereka lebih
focus mengatur strategi yang lebih praktis. Misalnya dengan mempersiapkan
“serangan fajar” dengan berbagai bentuk transaksi. Atau, bahkan ada Caleg yang
mempersiapkan strategi jalan pintas, yakni “menyogok” penyelenggara pemilihan
diberbagai tingkatan agar menambah perolehan suaranya. Cara-cara seperti ini sangat beresiko, dan
tentu sudah pasti sangat tidak terhormat.
Perilaku Pemilih
Sebaliknya,
bagaimana calon legislative menghadapi perilaku pemilih pada Pileg tahun 2014
ini ?. Ada yang memprediksi, perilaku pemilih
Pemilu 2014 lebih baik dibanding Pemilu 2009. Pada Pemilu 2009, pertarungan
begitu keras dan “jor-joran” dalam membagikan materi/uang.
Pada
tahun 2009 pernah dilakukan survey perilaku pemilih. Hasilnya menunjukkan 45%
pemilih “mentoleransi politik uang”, dan 15% dari mereka mengaku pernah
menerima politik uang. Diduga, Pemilu 2014 anggka tersebut akan menurun seiring
dengan kesadaran pemilih yang sudah melihat dampak dari “politik uang” yang
begitu buruk terhadap kinerja pemerintahan dan pembangunan kita. Jika
diasumsikan bahwa pemilih yang mendasarkan pilihannya pada “politik uang”
sekitar 30% pada Pemilu 2014, maka ini akan memberi dampak baik bagi kehidupan politik kita.
Memang
belum ada survey yang menunjukkan angka tersebut, tapi milehat gejala yang
berkembang di tengah masyarakat seiring dengan perbaikan sitem Pemilu, kita
optimis Pemilu 2014 akan lebih baik dibanding Pemilu sebelumnya. Untuk itu,
Caleg yang bertarung di Pemilu 2014 harus meyakini bahwa masih lebih banyak
orang baik dibandingkan orang jahat di
masyarakat. Jadi tidak perlu jor-joran menebar “uang” agar dilipih, karena itu
hanya memperebutkan sekitar 30-40 % suara pemilih. Jika Caleg memiliki dana
yang cukup, lebih baik meningkatkan popularitas dengan menonjolkan kualitas
diri, agar simpati dan tingkat kesukaan masyarakat pemilih meningkat. Karena
hanya dengan itu peluang “keterpilihan” juga semakin terbuka. Tidak ada jaminan
keterpilihan bagi Caleg yang menebar “politik uang”, karena tidak ada yang bisa
memaksa orang memilih ketika sudah di bilik suara.
Bagi
pemilih cerdas, tentu tidak akan memilih Caleg yang hanya mengandalkan “politik
uang” dan kemapanan materi semata. Karena Caleg seperti ini pasti tidak
memiliki kualitas diri yang mumpuni, sehingga pada saat mereka menjadi
anggota DPR, DPR, dan DPD yang diurus
adalah kepentingan dirinya saja. Kita butuh wakil rakyat yang memiliki visi
kebangsaan dan memahami fungsi dan tugasnya, memiliki integritas tinggi,
berempati kepada meraka yang terpinggirkan, serta semangat pengabdian yang
tulus. Hanya dengan wakil rakyat seperti ini, kita bisa berharap kehidupan
negeri ini bisa lebih baik. Untuk itu, kita perlu menjadi PEMILIH CERDAS agar
kita ikut memberikan sumbangsi dalam
memperbaiki kehidupan bangsa kita. Jika kesempatan ini tidak kita
manfaatkan, maka nasib bangsa ini tidak akan lebih baik dari sekarang. *****
Penulis
:
Pemerhati masalah social politik,
dan salah seorang inisiator berdirinya DAMAI Institute Gorontalo.
Langganan:
Postingan (Atom)