Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Januari 2015

GOWES TO POHUWATO, Rute Neraka Bagi Pemula

(Marisa-Buntulia-Randangan-Wanggarasi 53 km)

Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya Gowes To Pohuwato terlaksana juga. Sabtu sore (13/12/2014) rombongan Makassar Gorontalo Gowes Club (MG2C) berangkat menuju Marisa, ibukota kabupaten Pohowato. Robongan MG2C yang berjumlah sekitar 50 orang tiba di Marisa jam 19.00, kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah dengan warga KKSS di Bele Nusantara yang merupakan skretariat BPD KKSS Pohuwato. Acara rama tamah berlangsung hingga jam 23.00.
Minggu pagi, jam 06.00, seluruh peserta gowes sudah berkumpul di depan hotel Grand Permai Marisa, tempat sebagian peserta menginap. Jam 06,15 peserta gowes bergerak menuju Bele Nusantara untuk sarapan pagi dan senam pemanasan sebelum gowes. Setianya di Bele Nusantara, ibu-ibu dari KKSS Pohuwato sudah siap dengan hidangan bubur kacang ijo dan bubur ikan ala Marisa. Setelah sarapan, peserta gowes melakukan senam pelemasan otot dan pemanasan. Sebelum peserta memulai perjalanan, Ketua KKSS Provinsi Gorontalo, H. Janenal Mappe memberikan arahan tentang rute yang akan ditempuh, dan mengingatkan kepda peserta untuk tertib di jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
Tepat jam 07.00, rombongan MG2C bergerak perlahan menuju arah pantai Marisa dengan dipandu oleh Satuan Pengawal Polres Pohuwato. Perjalanan yang akan menempuh jarak kurang lebih 50 km menuju Wanggarasi, aka
n melewati Buntulia dan Randangan. Etape awal ini hanya melewati jalan-jalan dalam kota Marisa. Dari Bele Nusantara, rombongan menuju jalan Kelapa Dua kemudian berbelok ke kirim memasuki area perkantoran yang disebut Block Plan. Dari sini, iring-iringan menuju Pasar Tua, dimana tempat berdumisilinya sebagian besar warga KKSS Pohuwato.
Setelah berkeliling kota, rombongan tour MG2C melanjutkan perjalanan menuju Buntulia. Mobil Patwal dengan sirinenya berada paling depan dan diikuti oleh peserta gowes. Sepuluh kilo meter pertama ditempuh hanya dengan waktu 20 menit. Melawati jalan datar dan dikiri kanan terhapar persawahan yang menghijau, menjadikan perjalan begitu mengasyikkan. Keceriaan peserta gowes terlihat dari senyun dan canda mereka. H. Tuti, yang memutar musik dangdut di sepedanya menambah semangat peserta gowes. Lagu “Bang Jali” dan “Sakinya tu di sini” pengiringi peserta gowes hingga mencapai tanjakan pertama menuju Puncak Buntulia. Tanjakan yang panjangnya sekitar 2 km dengan kemiringan yang cukup terjal membuat sebagian bikers merasa shock dan terlihat kelelahan. Beberapa bikers tidak bisa mencapai puncak karena kehabisan tenaga, dan terpaksa diangkut dengan mobil operasional MG2C. Ririn, satu satunya peserta perempuan, adalah orang pertama yang harus keluar dari arena. Selain kelelahan, sepeda Ririn juga bermasalah ban depannya. Selain Ririn, sudah ada 4 sepeda di atas mobil.

Kami tiba di puncak pendakian Buntulia, kurang 5 menit jam 08.00. “Ini rute neraka” kata salah seorang peserta sambil memarkir sepedanya dan mencari tempat untuk beristirahat. Agak lama waktu digunakan untuk istirahat di tempat ini. Beberapa bikers terlihat sangat kelelahan, dan mulai melirik mobil operasional MG2C untuk menaikkan sepedanya di mobil tersebut. Saya juga sudah mulai tergoda untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami baru menyelesaikan 15 km dari sekitar 53 km yang harus ditempuh, sungguh jarak yang sangat jauh untuk kalangan pemula. Tapi karena Bapak Kombes Polisi Drs. H Kamaruddin (Komandan Satuan Berimob Polda Gorontalo) bersama Ketua KKSS menantang kita semua untuk menyelesaikan perjalanan maka saya pun bangkit meraih sepeda dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Dudepo.
Jam 8,30 kami melanjutkan perjalanan menurun sepanjang satu kilometer dengan tikungan yang cukup tajam. Masih dua tanjakan sebelum mencapai Pos II di Desa Dudepo. Dua tanjakan  Ini  cukup menguras tenaga, dan membuat rombongan tercerai berai. Sekitar 10 bikers tiba lebih awal di puncak pendakian keempat, kemudian menyusul satu satu dengan jarak sekitar 5 menit.
Di Pos II ini rombongan MG2C disuguhi semangka segar oleh warga setempat. Sambil menikmati semangka, sebagian peserta menyempatkan diri mengurut paha dan betis yang mulai keram.  Sekitar 20 menit waktu yang dihabiskan untuk istirahat di tempat ini.

Dari Pos II Dudepo, perjalanan dilanjutkan menuju Randangan. Jarak yang tersisa masih 25 km hingga garis finis di kawasan pertambakan di Wanggarasi. Beberapa bikers sudah terlihat sangat kelelahan. Ketua BPW KKSS Provinsi Gorontalo H. Jaenal Mappe, terus memberi semangat agar romobongan MG2C dapat menyelesaikan rute “neraka” ini. Saya dan beberapa teman sengaja meluncur lebih dulu agar kelak tidak tertinggal jauh dari para bikers jawara yang memiliki kecepatan tinggi. Masih tersisa tiga perbukitan sebelum sampai di Randangan, sementara matahari semakin terik seakan membakar kulit.
Sekitar tujuh kilometer sebelum memasuki Randangan, Kok Anton mengalami masalah dengan sepedanya. Ratainya putus. Ini memaksa Tim Mekanik yang menyertai kami harus mengangkat sepeda Kok Anton naik ke mobil. Tapi Kok Anton menolak naik mobil. Untuknya  sudah ada 4 sepeda yang nganggur di mobil operasional MG2C, maka salah satu dari sepeda itu diturunkan untuk dipakai Kok Anton melanjutkan perjalanan hingga Randangan. Kami tiba di Randangan (Pos III) jam 10,15.
Di rumahan salah seorang warga KKSS Randangan, kami disuguhi esteler dan berbagai penganan ringan. Rasa dahaga betul-betul terobati. Beberapa warga KKSS menyempatkan diri bersilaturahmi dengan Ketua BPW KKSS, H. Jaenal Mappe dan Kombes Polisi H. Kamaruddin (Dansat BRIMOB Polda Gorontalo). Canda dan tawa lepas bersama dahaga warga KKSS karena dapat bersilaturahmi dengan saudara-saudara yang lama tidak jumpa. Setelah istirahat sekitar 30 menit, dan  tenaga sudah  kembali pulih, maka perjalanan dilanjutkan menuju Wanggarasi.
Jarak tempuh yang masih tersisa sekitar 13 km. Jika rute normal dan tenaga masih maksimal, jarak ini hanya akan ditempuh sekitar 30 menit. Tapi karena masih ada tiga tanjakan yang cukup berat, dan angin kencang menerpa dari arah pantai sangat menguras tenaga, danbikers tidak bisa memacu sepedanya dengan cepat. Ditamba terik mata hari yang sudah di atas kepala dan hawa panas aspal dari bawah, menjadi rute ini betul-betul seperti neraka. 

Lima kilo meter setelah meninggalkan Randangan, sudah setengah dari jumlah robongan gowes harus naik mobil,  mereka sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan. Hawa panas dan angin kencang memaksa mereka untuk meninggalkan sepedanya. Pada jarak 5 km sebelum garis finish, Bapak Dansat Brimob, H. Kamaruddin terlihat mengalami masalah. Paha dan betisnya keram. Tim Teknisi sudah menawari beliau agar tidak melanjutkan perjalanan, tapi karena semangat akhirnya beliau tetap melanjutkan perjalanan hingga garis finish. Pada kilometer yang sama, terlihat dua orang bikers terkapar dipinggir jalan. Ternyata mereka adalah Muhammad yunus Kaseng dan Masbul Mustafa. Kedua bikers tangguh ini harus menyerah karena kedua betisnya mengalami cedera dan kram. Balsem anti kram sudah dioleskan ke betis dan paha keduanya, namun rasa sakit tetap ada. Akhirnya keduanya harus di bimbing manaiki mobil bus Brimob Polda Gorontalo.
Rombongan Gowes MG2C akhirnya finish di kawasan pertambakan Wanggarasi, 53 km dari Kota Marisa, jam 11,45. Hanya belasan peserta gowes yang mencapai garis finis bersama sepedanya, diantaranya; H. Jaenal Mappe (Ketua BPW KKSS), H. Kamaruddin (Dansat Brimob dan Pembina KKSS), Asman Siregar (ketua MG2C), Jasman Muhammad (Sek Wil BPW KKSS), Opa Naviz, Kok Anton, Muhammad Yusuf, Andi Agus, H. Tuti, dll.
Di Wanggarasi ini, peserta gowes disugihi penganan tradisional ala Sulawesi Selatan, nasu bale atau pallumara dan lawa’ paku. Selain itu udang goreng seukuran jempol kaki, dan ikan bakar badeng ikut melengkapi menuh makan siang kami. Di atas rumah panggu di pinggir empang, menambah nikmat dan lahap makan siang itu. Wajah-wajah yang awalnya terlihat lusuh, kembali cerah setalah santap siang.
Inilah rute gowes MG2C yang paling berkesan tahun ini. Rute yang dipilih oleh Ambo Tang Daeng Matteru bersama pengurus BPD KKSS Pohuwato menambah catatan perjalan MG2C dalam missi perdamaian dan silaturahmi.  Selamat !!!, semoga gowes tahun depan bisa lebih baik dan berkesan. ********

Kamis, 01 Mei 2014

PULAU SARONDE, Surga di Bibir Pacific



Pulau Saronde, Surga di bibir Pacific.

Taman Surga di bibir Pacific, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan dan kemolekan Pulau Saronde. Pulau mungil yang merupakan bagian dari Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, memiliki keindahan alam laut yang luar biasa. Pasir putih yang halus berpadu dengan batu-batu hitam yang besar, menjadikan pulai ini terlihat sangat eksotik. Air lautnya yang jernih, membuat kita dapat melihat bunga-bunga karang yang asri dikedalaman 1,5 – 2 meter. Sungguh pemandangan yang mempesona.
Pasir putih, dan batuan warna hitam.
Untuk mencapai Pulau Saronde, tidak begitu sulit. Dari Kota Gorontalo, kita bisa menggunakan kendaraan darat menuju Kwandang, ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara. Jarak antara Kota Gorontalo dengan Kwandang, sekitar 50 km, dengan waktu tempuh sekitar satu sengah jam. Dari Kwandang menuju Pulau Saronde, kita bisa naik perahu “katin-ting” dengan sewa sekitar Rp. 200.000,- . Dari pelabuhan Kawandang menuju Pulau Saronde, ditempuh dengan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Ada banyak perahu nelayan yang siap mengantar kita ke Saronde, jika harga carter perahu disepakati. Memang belum ada angkutan penyeberangan yang regular untuk mengangkut wisatawan yang berkunjung ke Saronde. Mungkin karena belum banyak pengunjung yang berwisata ke pulai ini.
Air laut yang jernih
Perjalanan saya ke Pulau Saronde bukanlah tujuan utama. Sebenarnya, saya ingin mengunjungi program-program yang dibiayai PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Ponelo Kepulauan. Karena sudah lama saya dengar cerita keindahan Pulau Saronde, maka saya sempatkan diri untuk mengunjungi polau ini. Untuk itu, saya minta Wilco, FK Kecamatan Ponelo Kepulauan, mempersiapkan perahu yang lebih baik, agar saya bisa menyeberang ke Saronde.
Rabu (30 Maret 2014), pagi jam 6.00, saya tinggalkan kamar kos saya menuju Kwandang. Sekitar jam 7,30 saya sudah tiba di pelabuhan Kwandang. Sambil menunggu perahu yang akan mengantar saya ke Ponelo dan Saronde, saya menyempatkan diri sarapan pagi di area pelabuhan. Tepat jam 8.00, Wilco memberi tahu saya kalau perahu sudah siap diberangkatkan. Kami tinggalkan pelabuhan Kwandang, jam 8.15 menuju Pulau Saronde. Sengaja kami langsung ke Pulau Saronde, karena di pagi hari laut masih teduh.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Saronde, kami disuguhi pemandangan alam laut yang sangat elok. Biru laut yang teduh, berpadu dengan warna kehijauan gugusan pulau-pulau dengan nyiur melambai, menjadikan perjalan satu jam terasa singkat. Terumbu karang di kedalam 2 meter, terlihat jelas dari atas kantinting. Iakn-ikan karang terlihat bergerombol bermain di sela-sela karang yang masih perwan. Sungguh perjalanan yang mengasyikkan…

Kami tiba di Pulau Saronde jam 9,15. Wilco bersama adik sepupunya, memasang jangkar dan mengikatkan perahu. Saya sedikit terperangah melihat hamparan pasir putih yang begitu luas dengan biru laut yang kontras, menjadikan pemandangan “ibarat lukisan” sang maestro. Kondisi pulau sangat sepi, hanya ada seorang prempuan paru baya sedang menyapu di sekitar gazebo yang sudah disiapkan untuk pengunjung. Sepertinya, hari itu hanya kami yang mengunjungi pulai ini.
Setelah beristirahat sejenak, kami menyempatkan diri mengelilingi pulau yang lebarnya sekitar 3 heaktar ini. Disisi barat Pulau Saronde terdapat gugusan batu besar di sela-sela hutan mangrove yang masih tersisa. Melihat jenis batuannya, kelihatannya ini bukan batu karang, tapi seperti batuan gunung berapi (batu vulakno). Batu-batu besar seukuran kerbau tersebut bertebaran menambah keunikan pulau ini. Air mulai surut, sehingga membuat kami leluasa melihat terumbu karang yang ada disekitar pulau. Rumput padang lamun melambai-lambai karena terbawa arus pasang. Kami tak hentin-hentinya mengagumi keindahan Saronde…
Mendorong Perahu
Puas mengelilingi pulau, kami menganti pakaian untuk mandi. Sekitar satu jam kami berendam di air laut yang jernih. Sambil bermain dengan “bintang laut” yang banyak menghiasi pesisir Saronde, saya merenung; betapa indahnya negeri ini, tapi mengapa masih banyak nelayan disekitar Saronde yang hidupnya miskin ? Dari informasi yang saya peroleh, bahwa Pulau Saronde sudah di kontrakkan kepada swasta. Dan mudah-mudahan masyarakat di sekitar Saronde masih bisa memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisatanya.

Dapat iakan karang, hehehehe
Jam 12.00, kami bergegas meninggalkan Saronde. Air surut membuat perahu kami kandas, sehingga harus menunggu sekitar 15 menit untuk mendorongnya ke laut. Setelah berjuang sekitar 10 menit, barulah perahu kami dapat kembali mengapung dan siap meninggalkan Saronde. Sebelum kembali ke Kawandang, kami menyempatkan singgah di gugusan karang untuk memancing. Dengan alat pancing tradisional, saya dan Wilco mencoba peruntungan. Setelah lima menit pancing kami turunkan, Wilco lebih dulu mendapat ikan batu (jenis kerapuh). Tidak lama kemudian saya pun berhasil menaikkan satu ikan karang dengan ukuran telapak tangan. Luar bisas, saya betul-betul menikmati perjalanan hari ini….

Senin, 24 Maret 2014

RUTE GEMBIRA yang Menguras Tenaga




Selalu ada kejutan. Itulah yang terjadi disetiap goes MG2C yang menempuh rute-rute luar kota. Minggu 23 Maret 2014, rute pantai yang dipilih adalah jalur menuju Kabila Bone melalaui pelabuhan laut Gorontalo dan menjajal tanjakan di area Markas Lantamal hingga finis di Dermaga Inengo, Bone Bolango.  Sebelum meninggalkan markas MG2C di Warkop Nusantara, seperti biasa kami melakukan olah raga ringan dan pelemasan otot. Setelah itu, Ampa mengumumkan rute yang akan ditempuh hari ini. Dijelaskan bahwa rute hari ini adalah rute “gembira” karena kita akan menuju pantai melalui jalan-jalan dalam kota, dan akan finis di pantai Inengo. Di pantai ini kita akan dijamu oleh Ko’ Anton, salah seorang anggota MG2C yang sedang berulang tahun.
Dengan penjelasan itu, semua perserta goes menyambut gembira. Kegembiraan bertambah ketika mengetahui bahwa Pak Ketua (ketua BPW KKSS) tidak ikut goes. Ini artinya, kita bisa pulang dengan naik mobil. Jam 7,30, rombongan bergerak perlahan menelusuri jalan-jalan kota, lewat jalan Sudirman, H.B. Jassin, tugu HI, kemudian berbelok ke kanan, keluar di pertigaan kampung bugis, melintas jembatan sungai bone, menuju arah pelabuhan peti kemas. Dari jembatann ini, peserta goes sudah mulai memacu sepeda pada kecepatan diatas 30 km/jam. Tiba di area pelabuhan, kecepatan melambat karena jalan menyempit dam melawati perkampungan padat. Di sini, tanjakan pertama sudah mulai menghadang. Lepas dari area pelabuhan, kecepatan mulai dipacu kembali.
Menghadapi tanjakan kedua, yang terjal dengan jalan berbelok di kawasan Markas Angkatan Laut, menyulitkan para bikers untuk menaiki tanjakan, sehingga memilih mendorong sepedanya hingga puncak tanjakan. Di depan Maskas Angkatan Laut, kami beristirahat sejenak sambil menunggu teman-teman yang masih berjuang menaklukkan tanjakan. Setelah berfoto dan melepas dahaga, rombongan meluncur menuju pantai Inengo. Sebelum mencapai pantai Inengo, masih ada tiga tanjakan yang cukup terjal yang dilewati.
Tiba di pantai Inengo, jam 9.00. Ini berarti waktu tempuh dari Warkop Nusantara ke pantai Inongo 1,5 jam, dengan jarak sekitar 18 km. Di Pantai Inongu, kami sudah dijemput oleh sejumlah penganan ringan dan music elekton. Sedang asyik mendengarkan lagu-lagu dari penyanyi cantik, tiba-tiba Ampa mengumkan bahwa Ketua BPW KKSS Gorontalo, H. Jainal Mappe bersama H. Alifuddin Jamal, akan bergabung dengan kita di acara ini. Sontak membuat beberapa bikers yang sudah menaikkan sepedanya di mobil terlihat khawatir.” Ini gawat, Pak Ketua pasti menyuruh kita naik sepeda kembali ke kota”, kata salah seorang yang sudah terlanjur manikkan sepedanya di mobil. Dan prediksi itu betul terjadi. Pada saat Ketua BPW KKSS memberikan sambutan, langsung mengumumkan bahwa kita akan naik sepeda kembali ke kota. Dan tidak boleh ada yang naik mobol, untuk itu semua sepeda yang ada di mobil diturunkan. Inilah kejutan dari Pak Ketua.******

Minggu, 09 Maret 2014

Rute Ulang Tahun… MG2C



Ibunda Winarni Monoarfa didampingi suami, memotong kue Ultah MG2C
Touring Makassar Gorontalo Goes Community (MG2C) minggu ini, 9 Maret 2014, adalah salah satu  touring paling berkesan. Itu, karena hari ini MG2C genap berusia tiga tahun dan peringatan hari jadinya, diperingati bersama hari lahirnya Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj Winarni Monoarfa, MS , Sekretaris Daerah Propinsi Gorontalo. Dijamu di rumah dinas Sekprov, lengkap dengan hiburan dan “ganrang bulo” dari Makassar, menjadikan peringatan tiga tahun MG2C terasa sangat istimewa.

Sebagai rute ulang tahun, para bikers tidak melalui jalur yang ekstrim seperti rute dua minggu sebelumnya. Rute yang dilalui hari ini lebih banyak jalanan beraspal.
Ibunda Winarni bersama pengurus KKSS
Angngaru
Perjalanan mulai  dari markas MG2C di Warkop Nusantara, Jl Jenderal Sudirman, melintasi Jl HB Yassin, kemudian bergerak perlahan melewati beberapa kompleks peruhan mengarah ke barat melalui lapangan Taruna. Dari lapangan Taruna, robongan meluncur kearan Batudaan melewati jembatan Sungai Bone. Lepas dari jempatan, sekitar 500 meter, rombongan bikers dihadang oleh tanjakan dengan kemiringan 15 derajat. Beberapa bikers terpaksa mendorong sepedanya sampai ke puncak tanjakan. Ada tiga tanjakan yang cukup terjal yang dilalui sepenjang perjalanan hingga finis di rumah jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo di Jl. Yusuf Hasiru Gorontalo.


Kado Ulang Tahun dari Ibunda Winarni

Kebersamaan itu indah. Itulah yang dirasakan oleh seluruh anggota MG2C KKSS Gorontalo di acara peringatan Miladnya yang ke-3. MG2C yang beranggotakan 103 bikers, telah membawa suasana baru ditengah-tengah warga KKSS Gorontalo. Selain tujuan olahraga, dengan bersepeda bersama juga semakin mempererat silaturahmi. “Dulunya kita hanya bertemu dengan beberapa warga KKSS dalam waktu yang agak lama. Tapi dengan adanya MG2C, kita sudah semakin sering ketemu” kata H. Asman, Ketua MG2C KKSS, yang juga menjadi salah satu inisiator berdirinya club speda ini.

Pose bersama sebelum acara Ultah MG2C
Ibunda Prof. DR. Ir. Hj Winarni Monoarfa, MS, dalam sambutannya, berpesan agar MG2C KKSS mengambil peran aktif dalam mendinamisir pembangunan di Gorontalo. Warga KKSS di Gorontalo cukup besar jumlahnya, dan dari berbagai latar belakang profesi. Selain pengusaha, bankir, birokrak, juga sudah ada yang jadi anggota DPRD, jadi Rektor dan dosen di berbagai perguruan tinggi. Untuk itu, Ibunda Winarni menghimbau segenap warga KKSS untuk senantiasa membuka diri dan membantu komunitas masyarakat lainnya, agar tumbuh dan berkembang secara bersama.

Bermula dari Warung Kopi

MG2C merupakan komutas sepeda gunung yang paling aktif di Gorontalo. Setiap minggu melakukan touring ke berbagai wilayah di Gorontalo dengan jarak tempuh antara 30-60 kilo meter setiap rutenya. Bahkan sudah pernah melakukan touring ke Minahasa Sulawesi Utara mengililingi Danau Tondano dan menjajal tanjakan Malino Kabupaten Gowa, Sulawesi selatan. Rencananya, setelah Pemilu yang akan datang, MG2C akan melakukan tour ke Bali.

Inisiator berdirinya MG2C
Sejarah terbentuknya MG2C, bermula dari pengalaman buruk seorang warga KKSS yang terserang stroke ringan di warung kopi. Dari kejadian ini, timbul kesadaran untuk menjaga kesehatan dengan berolahraga. Dan olahn raga yang dipilih adalah bersepeda. Awalnya sekitar lima orang saja yang tertarik mengikuti gagasan tesebut. Tapi dengan kegigihan para penginisiator, akhirnya dapat mempengaruhi Ketua KKSS H. Jainal Mappe untuk mencoba olah raga bersepeda. Dan setelah itu MG2C terus berkembang, anggotanya terus bertambah, dan dari berbagai latar belakang. Demikian cerita yang disampaikan oleh H. Asman (Ketua MG2C) dan Ikbal sebagai salah seorang  inisiator berdirinya kelompok PASSAPEDANA KKSS ini. 
Dalam usianya yang ke-3 tahun, MG2C semakin menunjukkan eksistensinya sebagai wadah silaturahmi warga KKSS yang ada di Gorontalo. Meski “Pada lao, teppada upe” tapi kalau kita bergabung dengan MG2C kita pasti merasakan “pada lao massapeda….” SELAMAT MILAD 3 MG2C.

Kamis, 06 Maret 2014

Benteng Otanaha



Benteng Otanaha

Benteng Otanaha, terletak di atas bukit di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Untuk mencapai benteng ini, kita bisa menggunakan dua jalur. Dari arah belakang dengan kendaraan roda empat, dan dari arah depan dengan menggunakan tangga yang jumlahnya anak tangganya 348 dengan empat tempat persinggahan. Berdasarkan cacatan sejarah, Benteng Otanaha dibanguna pada tahun 1522. Benteng yang berbentuk silender ini lebih menyerupai tempat pengintaiaan, karena dari benteng ini kita dapat melihat seluruh wilayah Danau Limboto dan Kota Gorontalo.
Konon, pada abat ke-15 tersebut sebagian besar wilayah Gorontalo masih tergenang air laut. Ketika itu, Kerajaan Gorontalo di bawah Pemerintahan Raja Ilato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505–1585). Raja Ilato dan permaisurinya  memilik tiga anak, satu orang lakiilaki dan dua orang perempuan. Mereka adalah; Ndoba (perempuan),Tiliaya (perempuan),dan Naha (laki-laki). Sebagai anak laki-laki, Naha sering melanglang buana ke negeri seberang pada usia remajanya. Sementara  Ndoba dan Tiliaya memilih tinggal berma kedua orang tuanya di  wilayah kerajaan.
Pada tahun 1520-an,  sebuah kapal layar Portugal singgah di Pelabuhan Gorontalo kareana cuaca buruk. Selain singgah untuk berlindung menunggu cuaca membaik, juga bertujuan untuk menambah logistic. Tapi rupanya, di tempat persinggahan ini telah ada kerajaan yang eksis, yakni kerajaan Gorontalo. Orang-orang Portugis ini tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kemudian mereka menghadap kepada Raja Ilato untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan, bahwa untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negeri, akan dibangun atau didirikan tiga buah benteng di atas perbukitan sebelah barat kota Gorontalo.

Ternyata, benteng tersebut bukanlah semata-mata kepentingan kerjaaan, tapi para nakhoda Portugis hanya memperalat Pasukan Ndoba dan Tiliaya ketika akan mengusir bajak laut yang sering menggangu nelayan di pantai, dan berniat menguasai kerajaan Gorontalo. Menyadari hal tersebut, maka seluruh rakyat dan pasukan Ndoba dan Tiliaya (dua putrid Raja Ilato) yang diperkuat empat Apitalau, bangkit dan mendesak bangsa Portugis untuk segera meninggalkan daratan Gorontalo. Ndoba dan Tiliaya tampil sebagai dua tokoh wanita pejuang waktu itu langsung mempersiapkan penduduk sekitar untuk menangkis serangan musuh dan kemungkinan perang yang akan terjadi. Pasukan Ndoba dan Tiliaya,diperkuat lagi dengan angkatan laut yang dipimpin oleh para Apitalau atau ‘kapten laut’, yakni Apitalau Lakoro, Pitalau Lagona, Apitalau Lakadjo, dan Apitalau Djailani.
Sekitar tahun 1585, Naha (putra Raja Ilato) yang kembali dari merantau, menemukan kembali ketiga benteng tersebut. Kemudian Ia memperistri seorang wanita bernama Ohihiya. Dari pasangan suami istri ini lahirlah dua putra, yakni Paha (Pahu) dan Limonu.Pada waktu  itu terjadi perang melawan Hemuto atau pemimpin golongan transmigran melalui jalur utara. Naha dan Paha gugur melawan Hemuto.
Sebagai putra Naha yang masih hidup, maka Limonu menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Naha, Ohihiya, Paha, dan Limonu telah memanfaatkan ketiga benteng tersebut sebagai pusat kekuatan pertahanan. Dengan latar belakang peristiwa di atas,maka ketiga benteng dimaksud telah diabadikan dengan nama Otanaha, Otahiya, Otahiya.
Benteng Otanaha ini hanya dari pasir dan batu kapur. Lebih menakjubkan lagi, Benteng Otanaha hanya menggunakan telur burung maleo untuk merekatkan batu dan pasir. Benteng Otanaha dibangun dengan tinggi 7 meter dan berdiameter sekitar 20 meter. Ada 3 benteng yang dihubungkan dengan jalan setapak untuk menuju tiap-tiap benteng.
Milhat senja dari benteng Otanaha
Dari atas benteng ini, kita akan seluasa melihat pemandangan indah dana Limboto di sisi utara benteng. Sementara di bagian Selatan membentang pegunungan yang menghijau dengan kontur yang begitu indah. Sayangnya, pengelolaan benteng ini belum dilakukan secara baik. Seharusnya ada pemandu wisata yang bisa menjelaskan kepada pengunjung tentang sejarah benteng ini.
Jika ada fasilitas umum yang memadai, semisal ada kafe yang menyediaakan makanan khas Gorontalo, benteng ini pasti banyak dikunjungi setiap sore. Jaraknya dari pusat kota Gorontalo sekitar 15 km dengan waktu tempuh 15 menit, akan menjadikan tempat ini sebagai tempat nongkrong faforit di sore hari untuk menungg terbenamnya matahari di atas bukit.***