Kamis, 09 Januari 2014

DETIK-DETIK MENDEBARKAN

 
Intrik-intrik telah membuat kakak dan adik
memperebutkan kursi itu
Ambisi saling menyala menjadi iri
seakan mereka tidak lahir dari rahim seorang ibu
Apa mau dikata
si kakak merasa pantas untuk yang satu
dengan setegak daya dengan sebentuk wibawa
sang adik tak kalah yakin
hanya dirinya yang pantas berjaya
seakan bintang dan matahari
sudah siap mendampinginya

Inilah kabar getir yang membuat
angin di Luwu  jadi tak nyaman
Padahal rakyat di bukit dan di pelosok lembah
mendamba udara tanpa badai dan topan

Syahwat politik tak boleh dibiarkan
agar fitnah tak makin setan
Adat tak boleh rusak
oleh pertarungan nafsu yang lagi bergolak
Maka agar terjaga birunya langit
agar segar cokelatnya tanah
Perhelatan besar pun digelar
Sebagian hadir dengan hati yang gemetar
peristiwa apa yang akan terjadi
di bawah atap baruga yang besar?

Para pemangku datang dengan pakaian kebesaran
songkok dan baju serta sarung sutra kemilau

Setelah yang duduk pada bersila
Kakak dan adik yang sama-sama menyimpan bara
diminta berdiri tegak
Lalu dua pucuk keris diberikan
yang sepucuk untuk si kakak
sepucuk yang lain untuk adiknya
Keduanya diminta
menyelesaikan masalah dengan berlaga
mempertaruhkan nyawa
Arena menjadi tegang
Hampir tak berkedip semua mata
Sunyi, tinggal detak jantung yang makin bertalu

Dua pasang mata bertemu pandang
ditopang dua pucuk keris telanjang
Arena semakin tegang

Dua orang dari satu ibu satu ayah
harus saling bertikam bersimbah darah
Wahai!
Bagaimana bisa diterima oleh sejarah?

Dua pasang mata terus beradu pandang
masing-masing tangan dengan keris telanjang
Tapi fitrah yang suci
yang dibekalkan Tuhan sebelum bayi
tiba-tiba cemerlang pada masing-masing nurani
Dua pucuk keris dilepas tangan
Kakak beradik lalu berpelukan
Keduanya sadar
di atas songkok masing-masing
tampak senyum ibu yang indah menyingsing
menampung aroma sorga

Entah berapa ratus butir airmata
yang kemudian jatuh membasahi kembali fitrah

Ya Allah, telah pergi rasa dengki
Pandangan mata ibu
Amboi! Alangkah teduhnya 

D. Zawawi Imron.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar