Selasa, 07 Januari 2014

MEMULAI GAGASAN BESAR


Di ruangan makan Balaia Latiahan Penyuluh Pertanian Yogyakarta, pertengahan Maret 1998, Susanto, begitu bersemangat menceritakan pandangannya tentang program yang sedang digagas oleh Pemerintah Indonesia bersama Bank Dunia. Program Pengembangan Kecamatan (PPK). “Din, ini program luar biasa” demikian Susanto membuka pembicaraan. “Apanya yang luar biasa Mas ?, bukankah program ini dibiayai oleh Bank Dunia yang semua aktifis membencinya ?”, saya mencoba mendebatnya. Susanto mulai terpancing untuk menjelaskan lebih panjang. “ Ini gagasar besar yang harus di dukung, karena gerakan LSM Indonesia sudah dua dasawarsa berjuang untuk mewujudkan prencanaan partisipatif belum bisa tercapai secara menyeluruh. Melalui program PPK ini kita bisa mewujudkan itu, dan kita tidak perlu terganggu oleh siapa yang membiayainya”.

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah program penanggulangan kemiskinan yang melanjutkan dua program sebelumnya, yakni; Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Parasarana Desa Tertinggal (P3DT). Sebelum diluncurkan dan dilengkapi peroses perencanaannya, PPK telah diujicoba di tiga propinsi, masing-masing di Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Tumur. Hasil uji coba inilah yang kemudian dikaji dan dibuatkan berbagai pedoman dan panduan teknis agar peroses berjalan sesuai tujuan program.
Untuk menyusun berbagai panduan tersebut, pihak Bappenas (yang menjadi pelaksana program di tahun pertama) merekrut sejumlah konsultan dari pekerja dan aktifis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Rekriutment konsultan tersebut diserahkan kepada CARE International Indonesia (CII) sebagai lembaga yang dipercaya untuk mengembangkan rancangan modul dan panduan program. Saya dan Susanto adalah bagian dari 12 orang yang direkruit oleh CII untuk melakukan tugas-tugas tersebut.  Selain merancang modul, kami juga ditugaskan untuk melakukan rekruitment fasilitator dan melaksanakan pelatihan di propinsi.
Kembali ke Susanto. Dia terus memuji proses dan tahapan program PPK yang sedang didiskusikan. “Program PPK ini adalah program yang akan menjadikan masyarakat desa lebih berdaulat. Jika proses ini bisa dijalankan secara konsisten, maka ini dapat dimanfaatkan menjadi arena  pendidikan politik bagi rakyat desa. Untuk itu, kita harus merekrut tenaga pendamping (kemudian disebut fasilitator)  yang memahami persoalan-persoalan pembangunan dan sosilogi perdesaan. Dan tentu yang sangat penting adalah mereka yang berdedikasi dan berintegritas tinggi”. Demikian Susanto menjelaskan. “Tapi, Mas, apa mungkin kita mendapatkan tenaga pendamping/fasilitator dengan jumlah dan kualitas yang kita inginkan ?. Coba bayangkan Mas, untuk tahun ini kita butuh sekitar 300 pendamping/fasilitator kecamatan, dari mana bisa diperoleh jumlah fasilitator tersebut ?“,  saya mencoba melihatnya dari sisi yang realistis. Mendengar pertanyaan saya, Susanto pun mulai ragu. “ Iya Din, dimana kita mau nyari tenaga pendamping/fasilitator masyarakat sebanyak itu”. Kita berharap dari para aktifis LSM, tapi kebanyakan dari mereka tidak setuju bekerja sama dengan Bank Dunia, yang dianggap sponsor utama kapitalis. Apalagi sekarang ini lagi gencarnya penolakan terhadap utang luar negeri.
Susanto tetap optimis, dengan rancangan pelatihan untuk fasilitator selama 21 hari efektif, kita akan menciptakan fasilitator-fasilitator baru dan tangguh untuk mendapingi program dan masyarakat di desa. Untuk itu, mereka harus terus didampingi dan dibuatkan skema pembinaan secara berkala, agar proses idiologisasi konsep pengembangan masyarakat betul-betul terjadi.
Meski terus memuji program PPK, Susanto tetap menyisakan keritik dan penyesalan; dia melihat program ini masih terlalu banyak diatur dari Jakarta. Pemberian kewenangan kepada masyarakat desa dan pemerintahnya  masih sangat terbatas. “Ada kesan Pemerintah kurang mempercayai masyarakat dan pemerintah daerah dalam proses inplementasinya. Berbagai pembatasan dan keseragaman aturan untuk seluruh Indonesia, nampaknya kurang menghargai kearifan local masyarakat”. Ada baiknya PPK hanya memuat aturan-aturan umum saja, sementara aturan yang sangat teknis, diserahkan ke pemerintah daerah untuk menyusun panduannya agar bisa disesuaikan dengan kondisi local. Jika proses ini dilakuakn, maka bukan hanya pemberdayaan masyarakat yang terjadi, tapi juga ada proses peningkatan kapasitas kepada pemerintah daerah, agar kelak jika program berakhir pemerintah daerah bisa mengambil alih tanggung-jawab pendampingannya.

******
Sehari sebelum berakhirnya lokakarya dan pelatihan penyusunan pedoman umum dan manual teknis PPK, minggu pertama Mei 1998, di LPP Yogyakarta, saya dan Susanto kembali berdiskusi mengenai implemntasi program PPK.  Namun kali ini seorang kawan ikut bersama kami, Frans Priyono, salah seorang aktifis LSM dari Semarang. Dari diskusi kami bertiga, Susanto tetap optimis bahwa program ini akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki system perencanaan kita. Selain itu, juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi diperdesaan. “Dengan pembangunan infrastruktur perdesaan dan pemberian modal usaha kepada masyarakat desa akan sangat membantu mempercepat akselerasi pertumbuhan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan”, demikian Susanto mempertegas pendapatnya.
Namun Farans Priono berpendapat lain. Frans Priono tidak meragukan konsep programnya, tapi dia meargukan pemeritah yang sekarang, apakah masih bisa bertahan sampai program ini dapat diimplementasikan. Memang situasi politik pada bulan Mei 1998 sangat tidak kondusif untuk bicara pengembangan. Semua perhatian focus kepada issu revormasi politik, yang mengingingkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. “Mas, kelihatannnya Pak Harto akan jatuh atau mundur dari jabatannya” kata Frans Priono meyakinkan kami.
Situasi Kota Yogyakarta saat itu, sangat mencekam. Jalan-jalan utama dipenuhi bangkai kendaraan dan sisa ban bekas yang dibakar oleh pendemo. Jalanan utama menuju  Bandara Adi Sucipto diblokir oleh pendemo. Saya mulai khawatir, apakah kami bisa keluar dari Yogyakarta atau tidak. Jadwal perjalan kami sudah terbagi habis, saya mendapat tugas ke Medan, Sumatra Utara, padahal saya berharap ditugaskan ke Sulawesi Selatan.
Sebelum berangkat ke Medan minggu kedua Mei 1998, saya mampir ke Cigancur untuk ketemu Ketua Umum PB NU, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk urusan rekomendasi Balai Latihan dan Pengembangan Masyarakat (BLPM) Lakpesdam NU Sulawesi Selatan. Pada saat ketemu Gus Dur, saya menanyakan perihal situasi politik yang berkembang saat itu, dan kemungkinan jatuhnya rezim Orde baru. “Pak Harto tidak mungkin dijatuhkan, kalau caranya seperti ini. Perlu cara yang lebih sistimatis untuk melucuti kekuasaan Pak Harto”, demikian Gus Dur menjawab pertanyaan saya. Dengan pernyataan Dus Dur itulah yang meneguhkan keyakinan saya untuk berangkat ke Medan guna melakukan rekruitement fasilitator dan memperisipak pelatihan.
Tiba di Medan, saya langsung menemui perusahaan konsultan yang akan merekrut fasilitator kecamatan (FK) untuk wilayah Sumatra Utara. Selama empat hari saya bersama Team Leader FK mendiskusikan surat lamaran calon FK yang akan dipanggil untuk seleksi wawancara. Belum selesai persiapan dilakukan, tiba-tiba tersiar kabar bahwa kerusuhan di Jakarta sudah tidak terkendali dan telah menyebar ke kota-kota besar, termasuk di Medan. Malam tanggal 21 Mei 1998, Pak Harto meletakkan jabatan sebagai presiden dan menyerahkannya ke wakil presiden BJ Habibi. Situasi semakin tidak pasti. Seluruh konsultan yang bekerja di bawah bendera CII diminta untuk mengamankan diri di hotel-hotel yang memiliki kemaaman tinggi.
Setelah seminggu lengsernya Pak Harto, seluruh konsultan CII diminta kembali ke Jakarta tanpa ada kejelasan keberlanjutan program. Saya memilih kembali ke Makassar untuk bergabung dengan kawan-kawan LSM di Sulsel.********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar