Di ruangan makan Balaia
Latiahan Penyuluh Pertanian Yogyakarta, pertengahan Maret 1998, Susanto, begitu
bersemangat menceritakan pandangannya tentang program yang sedang digagas oleh
Pemerintah Indonesia bersama Bank Dunia. Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
“Din, ini program luar biasa” demikian Susanto membuka pembicaraan. “Apanya
yang luar biasa Mas ?, bukankah program ini dibiayai oleh Bank Dunia yang semua
aktifis membencinya ?”, saya mencoba mendebatnya. Susanto mulai terpancing
untuk menjelaskan lebih panjang. “ Ini gagasar besar yang harus di dukung,
karena gerakan LSM Indonesia sudah dua dasawarsa berjuang untuk mewujudkan
prencanaan partisipatif belum bisa tercapai secara menyeluruh. Melalui program
PPK ini kita bisa mewujudkan itu, dan kita tidak perlu terganggu oleh siapa
yang membiayainya”.
Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) adalah program penanggulangan kemiskinan yang melanjutkan dua program
sebelumnya, yakni; Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan
Parasarana Desa Tertinggal (P3DT). Sebelum diluncurkan dan dilengkapi peroses
perencanaannya, PPK telah diujicoba di tiga propinsi, masing-masing di Sumatra
Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Tumur. Hasil uji coba inilah yang kemudian
dikaji dan dibuatkan berbagai pedoman dan panduan teknis agar peroses berjalan
sesuai tujuan program.
Untuk menyusun berbagai
panduan tersebut, pihak Bappenas (yang menjadi pelaksana program di tahun
pertama) merekrut sejumlah konsultan dari pekerja dan aktifis lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Rekriutment konsultan tersebut diserahkan kepada CARE
International Indonesia (CII) sebagai lembaga yang dipercaya untuk
mengembangkan rancangan modul dan panduan program. Saya dan Susanto adalah bagian
dari 12 orang yang direkruit oleh CII untuk melakukan tugas-tugas
tersebut. Selain merancang modul, kami
juga ditugaskan untuk melakukan rekruitment fasilitator dan melaksanakan
pelatihan di propinsi.
Kembali ke Susanto. Dia
terus memuji proses dan tahapan program PPK yang sedang didiskusikan. “Program
PPK ini adalah program yang akan menjadikan masyarakat desa lebih berdaulat. Jika
proses ini bisa dijalankan secara konsisten, maka ini dapat dimanfaatkan
menjadi arena pendidikan politik bagi
rakyat desa. Untuk itu, kita harus merekrut tenaga pendamping (kemudian disebut
fasilitator) yang memahami
persoalan-persoalan pembangunan dan sosilogi perdesaan. Dan tentu yang sangat
penting adalah mereka yang berdedikasi dan berintegritas tinggi”. Demikian
Susanto menjelaskan. “Tapi, Mas, apa mungkin kita mendapatkan tenaga pendamping/fasilitator
dengan jumlah dan kualitas yang kita inginkan ?. Coba bayangkan Mas, untuk
tahun ini kita butuh sekitar 300 pendamping/fasilitator kecamatan, dari mana
bisa diperoleh jumlah fasilitator tersebut ?“, saya mencoba melihatnya dari sisi yang
realistis. Mendengar pertanyaan saya, Susanto pun mulai ragu. “ Iya Din, dimana
kita mau nyari tenaga pendamping/fasilitator
masyarakat sebanyak itu”. Kita berharap dari para aktifis LSM, tapi kebanyakan
dari mereka tidak setuju bekerja sama dengan Bank Dunia, yang dianggap sponsor
utama kapitalis. Apalagi sekarang ini lagi gencarnya penolakan terhadap utang
luar negeri.
Susanto tetap optimis,
dengan rancangan pelatihan untuk fasilitator selama 21 hari efektif, kita akan
menciptakan fasilitator-fasilitator baru dan tangguh untuk mendapingi program
dan masyarakat di desa. Untuk itu, mereka harus terus didampingi dan dibuatkan
skema pembinaan secara berkala, agar proses idiologisasi konsep pengembangan
masyarakat betul-betul terjadi.
Meski terus memuji program
PPK, Susanto tetap menyisakan keritik dan penyesalan; dia melihat program ini
masih terlalu banyak diatur dari Jakarta. Pemberian kewenangan kepada
masyarakat desa dan pemerintahnya masih
sangat terbatas. “Ada kesan Pemerintah kurang mempercayai masyarakat dan
pemerintah daerah dalam proses inplementasinya. Berbagai pembatasan dan
keseragaman aturan untuk seluruh Indonesia, nampaknya kurang menghargai
kearifan local masyarakat”. Ada baiknya PPK hanya memuat aturan-aturan umum
saja, sementara aturan yang sangat teknis, diserahkan ke pemerintah daerah
untuk menyusun panduannya agar bisa disesuaikan dengan kondisi local. Jika
proses ini dilakuakn, maka bukan hanya pemberdayaan masyarakat yang terjadi,
tapi juga ada proses peningkatan kapasitas kepada pemerintah daerah, agar kelak
jika program berakhir pemerintah daerah bisa mengambil alih tanggung-jawab
pendampingannya.
******
Sehari sebelum berakhirnya
lokakarya dan pelatihan penyusunan pedoman umum dan manual teknis PPK, minggu
pertama Mei 1998, di LPP Yogyakarta, saya dan Susanto kembali berdiskusi
mengenai implemntasi program PPK. Namun
kali ini seorang kawan ikut bersama kami, Frans Priyono, salah seorang aktifis
LSM dari Semarang. Dari diskusi kami bertiga, Susanto tetap optimis bahwa
program ini akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki system perencanaan kita. Selain
itu, juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi diperdesaan. “Dengan
pembangunan infrastruktur perdesaan dan pemberian modal usaha kepada masyarakat
desa akan sangat membantu mempercepat akselerasi pertumbuhan, yang pada
gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan”, demikian Susanto
mempertegas pendapatnya.
Namun Farans Priono
berpendapat lain. Frans Priono tidak meragukan konsep programnya, tapi dia
meargukan pemeritah yang sekarang, apakah masih bisa bertahan sampai program
ini dapat diimplementasikan. Memang situasi politik pada bulan Mei 1998 sangat
tidak kondusif untuk bicara pengembangan. Semua perhatian focus kepada issu
revormasi politik, yang mengingingkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
“Mas, kelihatannnya Pak Harto akan jatuh atau mundur dari jabatannya” kata
Frans Priono meyakinkan kami.
Situasi Kota Yogyakarta saat
itu, sangat mencekam. Jalan-jalan utama dipenuhi bangkai kendaraan dan sisa ban
bekas yang dibakar oleh pendemo. Jalanan utama menuju Bandara Adi Sucipto diblokir oleh pendemo.
Saya mulai khawatir, apakah kami bisa keluar dari Yogyakarta atau tidak. Jadwal
perjalan kami sudah terbagi habis, saya mendapat tugas ke Medan, Sumatra Utara,
padahal saya berharap ditugaskan ke Sulawesi Selatan.
Sebelum berangkat ke Medan
minggu kedua Mei 1998, saya mampir ke Cigancur untuk ketemu Ketua Umum PB NU,
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk urusan rekomendasi Balai Latihan dan
Pengembangan Masyarakat (BLPM) Lakpesdam NU Sulawesi Selatan. Pada saat ketemu
Gus Dur, saya menanyakan perihal situasi politik yang berkembang saat itu, dan
kemungkinan jatuhnya rezim Orde baru. “Pak Harto tidak mungkin dijatuhkan,
kalau caranya seperti ini. Perlu cara yang lebih sistimatis untuk melucuti
kekuasaan Pak Harto”, demikian Gus Dur menjawab pertanyaan saya. Dengan
pernyataan Dus Dur itulah yang meneguhkan keyakinan saya untuk berangkat ke
Medan guna melakukan rekruitement fasilitator dan memperisipak pelatihan.
Tiba di Medan, saya langsung
menemui perusahaan konsultan yang akan merekrut fasilitator kecamatan (FK) untuk
wilayah Sumatra Utara. Selama empat hari saya bersama Team Leader FK
mendiskusikan surat lamaran calon FK yang akan dipanggil untuk seleksi
wawancara. Belum selesai persiapan dilakukan, tiba-tiba tersiar kabar bahwa
kerusuhan di Jakarta sudah tidak terkendali dan telah menyebar ke kota-kota besar,
termasuk di Medan. Malam tanggal 21 Mei 1998, Pak Harto meletakkan jabatan
sebagai presiden dan menyerahkannya ke wakil presiden BJ Habibi. Situasi
semakin tidak pasti. Seluruh konsultan yang bekerja di bawah bendera CII
diminta untuk mengamankan diri di hotel-hotel yang memiliki kemaaman tinggi.
Setelah seminggu lengsernya
Pak Harto, seluruh konsultan CII diminta kembali ke Jakarta tanpa ada kejelasan
keberlanjutan program. Saya memilih kembali ke Makassar untuk bergabung dengan
kawan-kawan LSM di Sulsel.********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar