Jumat, 10 Januari 2014

PEMBELAJARAN DARI KUPANG



Sekembali ke Makassar, saya tidak langsung bergabung dengan kawan-kawan aktifis LSM di Makassar. Saya memilih pulang kampung untuk bertemu orang tua, sambil melakukan perenungan-perenungan kecil di kebun rambutan saya. Seminggu lamanya saya menyibukkan diri di rimbunnya kebun rabutan. Saya tidak lagi mengikuti perkembangan politik paska lengsernya Pak Harto. Sengaja itu saya lakukan untuk menghilangkan rasa dongkol saya atas apa yang terjadi di negeri ini. Klimaks perjuangan menjatuhkan rezim orde baru, menjadikan para aktifis seolah lupa tentang bagaimana kelanjutan dari perjuangan itu. Seolah-olah tujuan utama kita hanya sampai pada jatuhnya Sueharto bersama rezimnya.
Setelah mengasingkan diri selama seminggu di kebun, saya kembali ke Makassar. Tiba di rumah, saya membaca Koran yang hampir seluruh isinya memuat tentang demo dan tarik menarik penyusunan kabinet baru yang akan dipimpin oleh Presiden BJ Habibi. Dari Koran yang saya baca, ada kesan situasi sudah mulai kondusif, roda pemerintahan mulai berjalan kembali. Tentu ini memberikan harapan besar bagi saya, agar program PPK yang sudah siap jalan, bisa kembali dilanjutkan.

Tempat pertama yang saya kunjungi di Makassar sepulang dari kebun, adalah BLPM Lakpesdam Unit I ujungpandang, lembaga yang membesarkan saya di dunia LSM selama 7 tahun. Di kantor Lakpesdam saya bertemu dengan banyak kawan, mereka terus berdiskusi mengenai situasi politik terakhir. Setelah menyapa dan menyalami kawan-kawan di Lakpesdam, saya langsung menumui Andi Jamaluddin Ibrahim, Direktur Lakpesdam Makassar, guna menyampaikan perihal kepulangan saya dari Jakarta. Saya sampaikan ke Andi Jamal, bahwa belum ada kepastian kelanjutan kontrak saya dengan CII sebagai Tim Trainer PPK. Untuk itu saya minta kembali bergabung dengan kawan-kawan di Lakpesdam guna membantu beberapa program yang sedang dijalankan. Andi Jamaludin setuju, dan meminta saya melakukan review terhadap beberapa modul pelatihan lingkungan yang sudah dibuat kawan-kawan di Lakpesdam.
Belum sempat menyelesaikan review modul yang ditugaskan kepada saya, CII kemabli meminta saya ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaan yang terhenti karena pergantian rezim. Sepertinya pemerintahan baru sudah membangun komitmen baru dengan pihak Bank Dunia sebagai donor dari program PPK. Bank Dunia sebagai lembaga pemberi utang kepada Indoensia, cukup gigih menawarkan konsep PPK kepada pemerintahan baru agar program ini tetap dilanjutkan. 
Pertengahan Juni 1998, saya kembali bergabung dengan Tim CII di Jakarta. Kami menempati kantor di Jl. Cik Di Tiro, Jakarta Pusat, sebagai kantor National Management Cunsultan (NMC) KDP/PPK. Di Kantor yang masih darurat inilah kami memulai melengkapi beberapa panduan dan modul training yang tidak sempat diselesaikan di Yogyakarta. Selain itu, kami juga ditugasi melakukan seleksi berkas calon fasilitator kecamatan dan calon konsultan manajemen kabupaten (KM-Kab) program PPK.
Selama sebulan berkantor di NMC Jl. Cik Di Tiro, tidak ada lagi perdebatan substansial antara saya dengan Susanto. Kami semua focus menyelesaikan sejumlah format dan panduan yang akan melengkapi manual teknis PPK. Saya mendapat bagian tugas untuk merancang dan melengkapi panduan Unit Pengelola Keuangan (UPK). Tentang UPK ini memang menjadi sesuatu yang krusial pada saat dibahas di Yogyakarta. UPK sebagai kelembagaan baru yang akan dibentuk di kecamatan, menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari bentuk organisasinya, rekruitmen personilnya, tugas dan tanggung jawab yang harus diembannya, sampai pada status bandan hukum dari UPK, menjadi pertanyaan kritis dari peserta workshop. 
Kehadiran lembaga UPK di dalam skema PPK adalah untuk mempermudah akses masyarakat miskin dalam memperoleh permodalan. Sebab berdasarkan kajian kemiskinan yang sudah dilakukan, diketahui bahwa salah satu factor penyebab kemiskinan adalah sulitnya masyarakat miskin memperoleh modal usaha, sehingga tidak bisa mengembangkan usahanya. Diharapkan dengan terbentuknya UPK akan menjadi sumber pendanaan altertatif bagi usaha-usaha mikro di perdesaan yang dikelola sendiri oleh masyarakat. UPK akan menjadi motor dari pengelolaan dana bergulir dari program PPK. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana aspek legalitas keberadaan UPK paska PPK berakhir. Beberapa pendapat saat itu, menyarankan UPK berubah menjadi koperasi, atau badan hukum sendiri seperti BMT. Sampai dengan PPK berjalan satu tahun, UPK belum memiliki status hukum. Victor Bottiny, Tim Leader NMC KDP waktu itu,mengatakan “ kita jalan saja dulu sambil berpikir tentang bagaimana kedepan status UPK. Karena krisis yang terjadi saat ini tidak boleh tertunda penanganannya karena akan berdampak lebih luas”. 
Setelah seluruh modul pelatihan selesai dibuat dan beberapa format yang menjadi lampiran Manual Teknis PPK, kami melakukan rapat khusus persiapan recruitment dan pelatihan fasilitator kecamatan (FK). Kami dibagi ke dalam 4 tim yang merupakan gabungan dari tim trainer CII dan tim pelatih dari Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (Ditjen PMD). Saya bergabung di tim tiga, dengan anggota 5 orang, masing-masing dari CII 3 orang dan dari Ditjen PMD 2 orang. Tim kami mendapat tugas ke Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Sulwesi Tenggara, DIY dan Jateng, serta Lampung dan Sumatra Selatan. Di setiap propinsi kami akan menghabiskan waktu sekitar satu bulan untuk persiapan, seleksi calon fasilitator kecamatan dan pelatihan fasilitator kecamatan selama 21 hari efektif. 
Sekitar minggu kedua Juli 1998, Tim kami berangkat munju Kupang Nusa Tenggara Timur. Saya berangkat bersama Nensi Fono  dan Frans Priyono, sementara dua orang dari Ditjen PMD akan menyusul kami menjelang pelatihan dilaksanakan.  Di Kupang, kami bekerja sama dengan Perusahan Konsultan yang akan merekrut fasilitator kecamatan (FK) PPK. Hari pertama di Kupang, kami mencocokkan data calon FK yang ada di perusahan konsultan dengan data yang kami bawa dari NMC Jakarta. Setelah proses klarifikasi data dan curriculum vitae calon FK selesai, pihak perusahaan konsultan mengundang calon FK untuk mengikuti seleksi aktif. Sebanyak 53 orang calon yang diundang untuk mengikuti seleksi, dan akan dinyatakan lulus sebanyak 30 orang.
Peroses seleksi dalakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama, calon FK diwawancarai oleh tim seleksi yang terdiri dari tiga orang. Materi wawancara meliputi; pertanyaan pengalaman pendampingan, pengetahuan tentang situasi perdesaan dan kemiskinan, dan kemapuan fasilitasi masyarakat. Tahap kedua, mereka dibagi kedalam beberapa kelompok (terdiri dari 10 orang) untuk melakukan diskusi tematik. Proses ini bertujuan melihat kemampuan calon FK dalam berkomunikasi, berargumentasi, dan penguasaan terhadap tema diskusi. Dari proses ini juga akan terlihat sikap pribadi masing-masing calon FK, apakah calon tersebut cukup toleran atau memliki keakuan yang tinggi. Dari dua tahapan ini, tim seleksi akan memilih 30 orang yang dinyatakan lulus untuk mengikuti pelatihan calon FK. Tahap ketiga, seleksi dilakukan pada saat peserta mengikuti pelatihan. 
Inilah pengalaman pertama kami melakukan seleksi FK. Ternyata tidak mudah. Standar penilaian yang dirumuskan di NMC Jakarta mungkin terlalu tinggi untuk kapasitas sumberdaya manusia yang ada di NTT. Dari hasil seleksi tahap satu dan dua, ternya hanya sekitar 15 orang yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan mengekitu pelatihan calon FK. Setelah berkonsultasi dengan NMC dan Bappenas, akhirnya standar tersebut diturunkan guna mengakomodir calon FK yang mendekati nilai ideal tersebut. Tim seleksi kemudian memutuskan 30 orang calon FK dinyatakan lulus untuk mengikuti pelatihan selama 21 hari.
Rancangan pelatihan FK selama 21 hari ini, materinya  dibagi lima bagian. Bagian pertama; pradaya, dengan materi-materi perkenalan, penjelasan alur, dan bina suasana. Bagian kedua; penjelasan umum program, yang meliputi latar belakang, tujuan dan strategi program. Bagian ketiga; motifasi dan sipirit, meliputi idologi pengembangan masyarakat, pendidikan orang dewasa, kepemimpinan situasional,  strategi pendampingan dll. Bagian keempat; materi terkait dengan pemahaman tahapan kerja program, penggunaan format-format sebagaimana diatur di dalam manual teknis PPK. Bagian kelima; evaluasi dan penyusunan rencana kerja masing-masing fasilitator. 
Akhirnya, pelatihan FK selama 21 hari efekti di Kupang selesai. Sebanyak 27 orang dinyatakan lulus dan siap ditempatkan. Dua orang dinyatakan cadangan dan satu orang mundur dari pelatihan karena sakit. Dari pelatihan angkatan pertama inilah kami belajar banyak tentang proses seleksi dan pelatihan fasilitator kecamatan PPK. Masih banyak yang harus dibenahi.  Kami punya waktu sepuluh hari untuk melakukan perbaikan sebelum angkatan kedua dimulai di Makassar dan angkatan ketiga di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar