Senin, 30 Desember 2013

TERSESAT DI JALAN YANG BENAR



Berawal dari Kebetulan.

“Kebetulan”,  kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana awalnya saya memulai aktifitas pada dunia pengembangan masyarakat. Suatu siang, di awal  Juni 1991 di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, secara kebetulan saya bertemu dengan Andi Jamaluddin Ibrahim, salah seorang sahabat saya yang lama baru berjumpa. Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog sebagaimana layaknya seorang sahabat yang lama baru bertemu.

“ Apa kabar ? Dari mana saja baru kelihatan ? Saya dengar anda kerja di Jakarta”, demikian Andi Jamal memulai pembicaraan. “ Sudah sebulan saya tinggalkan Jakarta Pak andi. Tidak lama saya di sana, hanya satu bulan. Kelihatannya saya tidak cocok hidup di Jakarta, terlalu keras untuk orang seperti saya”  saya menjelaskan pertanyaan Andi Jamal.  

“Sekarang apa kegiatannya ?, Pak Andi kembali bertanya. “Tidak begitu jelas Pak Andi, saya baru mau cari-cari kesibukan” jawab saya. “Wah.. kebetulan, kami sedang melakukan pelatihan, dan pesertanya masih kurang dua orang, kalau berminat bisa segera bergabung. Pelatihannya sudah berlangsung dua hari dari 21 hari yang direncanakan” demikian Andi Jamal menjelaskan. ”Apakah pelatihan tersebut harus dibayar Pak Andi ?, saya bertanya. “Tidak” jawab Andi Jamal. “ Kalau begitu saya berminat” kata saya, sambil mengajak dia berteduh di bawah mesjid kampus I UMI.

Setelah Pak Andi Jamal menjelaskan beberapa hal terkait dengan pelatihan tersebut, dan menyampaikan apa yang harus saya siapkan, sekaligus menunjukkan alamat tempat pelatihan, maka saya segera meluncur ke tempat pelatihan tersebut. Tiba di tempat pelatihan tepat pukul 15.30, dan peserta sedang istirahat sore. Begitu tiba di tempat pelatihan, saya menghubungi panitia untuk didaftar sebagai salah seorang peserta pelatihan. Setelah terdaftar, dan memperoleh kit pelatihan saya diminta bergabung dengan peserta lainnya. Tidak begitu sulit bagi saya untuk berinteraksi dengan peserta, karena hampir 80% pserta ternyata adalah teman-teman saya juga.

Setelah bertegur sapa dengan peserta yang lain, saya diperkenalkan dengan salah saorang pelatih dari Jakarta. Beliau adalah Pak Masykur, salah seorang pengurus LAKPESDAM NU. Setelah berbincang dengan Pak Maskur, saya mulai memperhatikan sepanduk yang tergantung di ruangan pelatihan. “PELATIHAN PELATIH PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KERJASAMA YAYASAN INDONESIA SEJAHTERA (YIS) DENGAN LAJNAH KAJIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA (LAKPESDAM) NU”. Demikian bunyi spanduk tersebut. Saya berusaha untuk tidak bertanya kepada siapapun, meskipun saya tidak begitu mengerti apa yang tertulis di spanduk tersebut.

Selesai istirah sore, pelatihan dimulai lagi. Sebagai peserta baru saya diminta memperkenalkan diri. Dengan sedikit “pongah” saya memperkenalkan diri, mulai dari menyebut nama, alamat, pengalaman organisasi, sampai pada menjelaskan bahwa saya baru saja pulang dari Jakarta. Semua orang bertepuk tangan, dan saya “merasa” sukses memperkenalkan diri, padahal, itu adalah awal yang memalukan.

Sejak sore itulah saya baru mengenal beberapa peristilahan yang sering dipakai oleh orang-orang yang bergerak dilingkunagn Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dan pada saat itu pula saya  baru mengetahui bahwa Andi Jamaluddin Ibrahim adalah salah sorang pengurus Balai Latihan dan Pengembangan Masyarakat (BLPM) LAKPESDAM Unit I Ujung Pandang, yang merupakan lajnah dibawah PB NU. Dan BLPM LAKPESDAM NU adalah salah satu LSM di Sulawesi selatan. 

 ***********


Meteri yang dibahas sore itu adalah materi pendidikan orang dewasa (POD) atau yang sering dikenal dengan andragogi. Ini adalah untuk pertama kalinya saya mendengar istilah POD dan andragogi. Pelatih yang  mengarahkan pelatihan saat itu adalah Ibu Mantini Sofyan, salah seorang pelatih senior dari  Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) Solo. Ibu Mantini begitu interaktif dengan peserta, dengan metode pasrtisipatif. Dia memulai materi dengan mengajak peserta bermain, kemudian meminta peserta memberi tanggapan atas permainan yang sudak dilakukan. Sebagian peserta memberikan jawaban dan Ibu Mantini menuliskannya di kertas yang ditempel di papan tulis. Saya tidak memberi tanggapan, kecuali tetap menyembunyikan rasa penasaran dan ketidak puasan saya terkait dengan metode pelatihan. Saya tidak melihat ada meja didepan, dan disana duduk seorang pembicara, seperti pelatihan-pelatihan yang sering saya ikuti. Kursi diatur setengah lingkaran, sehingga Ibu Mantini bisa berjalan secara leluasa mendekati masing-masing peserta, sambil bercanda dan bermain-main.

Tigapuluh menit pertama pelatihan berlangsung, saya belum bisa menangkap arah pembicaraan dan metode yang digunakan oleh pelatih. Saya ingin pelatih menjelaskan secara langsung apa yang dimaksud POD, bukan menanyai semua orang tentang apa yang dimaksud POD. Karena menurut saya medote ini akan membuang-buang waktu. Tiba giliran saya ditanya, sambil menyebut nama saya, Ibu Mantini, bertanya apa yang saya ketahui tentang POD. Dengan dasar logika sendiri, saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut. “Menurut saya POD adalah pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa”. Kemudian Ibu Mantini menulis pendapat saya tersebut di kertas yang ditempel di papantulis bersama pendapat peserta lainnya. Dianta sekian pendapat yang ada, saya merasa pendapat saya yang paling menar.

Setelah seluruh peserta memberikan pendapatnya, Ibu Mantini memberi komentar terhadap sejumlah pendapat yang ada. Menurutnya semua pendapat benar, dan saling melengkapi. Komentar Ibu Mantini semakin membuat saya tidak puas. Seharusnya ada pendapat yang paling benar, bukan semua pendapat benar.  Dengan daya kritis yang saya miliki, saya minta Ibu Mantini menyimpulkan mana pendapat yang paling benar. Tapi Ibu Mantini mengembalikan  pertanyaan tersebut kepada saya, untuk membuat kesimpulan mana pendapat yang paling benar. Dan ini membuat saya tersudut, karena sesungguhnya saya tidak mengetahui apa yang dimaksud POD. Dengan diplomatis saya katakan, “kalau saya tahu tentang apa yang akan dipelajari dipelatihan ini, lebih baik saya tidak ikut”.  Dan akhirnya Ibu Mantini menutup pelatihan sore itu dengan satu kesimpulan, bahwa kita akan bahas lebih dalam mengenai POD secara menyeluruh besok pagi sampai siang.

*******


Keesokan harinya, materi POD kembali dilanjutkan. Sebelum sesi  dimulai, Ibu Mantini mengajak peserta bernyanyi. Saya tidak ikut bernyanyi, karena saya merasa ini adalah cara anak-anak. Saya tidak suka bermain-main, karena saya menganggap bahwa cara-cara seperti itu tidak serius untuk pelatihan sepenting ini. Stelah proses awal tersebut, Ibu Mantini meminta peserta mengingat kembali apa yang dibahas selama satu hari kemaren. Beberapa orang mencoba menjelaskan dan Ibu Mantini kembali mencatat di kertas yang ditimpel di papantulis.

Setelah mengomentari beberapa hal terkait dengan pembahasan hari kemaren, dan membuat kesimpulan-kesimpulan sementara, kemudian peserta di bagi dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok  diminta untuk membuat pengertian dan definisi  bagaimana orang dewasa belajar. Proses diskusi kelompok berjalan kurang lebih satu jam, setelah itu, masing-masing kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Pada saat diskusi kelompok, saya tidak begitu aktif, saya mencoba menggunakan “siasat diam” dan mendengarkan pendapat orang lain. Dari pendapat orang-orang tersebut saya mencoba berkomentar.

Diskusi pleno melahirkan berbagai komentar dan pendapat di seputar pengertian POD. Setelah diskusi pleno selesai, Ibu Manti mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan orang dewasa, mulai dari dasar filosofinya sampai pada strateginya.

Uraian Ibu Mantini mengenai POD, kurang lebih sama dengan apa yang saya tulis ulang di bawah ini:

Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya.
Tentu saja untuk menghadapi peserta pendidikan yang pada umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan konvensional yang sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Dalam  praktek "pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal dengan "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).

Setelah mendengarkan  penjelasan mengenai konsep POD tersebut, saya mulai tertarik, meski masih ada sesuatu yang mengganjal. Ini merupakan pengetahuan baru bagi saya, dan memberikan perspektif baru pula dalam melaihat konsep pendidikan yang selama ini dilakukan. Saya sudah mulai merenung-renung tentang konsep pelatihan yang selama ini saya ikuti. Ada kemelut yang menggantung dalam pikiran saya, antara menyadari kekeliruan selama ini dan keakuan saya sebagai orang yang “merasa pintar”.

Selain materi POD, materi pengembangan masyarakat juga merupakan hal hal baru yang saya ketahu melalui TOT ini. Materi-materi seperti, kepemimpinan situasional, komunikasi, perencanaan, analisa sosial dll, adalah materi yang sudah sering saya ikuti, meskipun dalam konsep penyajian yang berbeda.

Melalui TOT inilah pertama kali saya mengenal istilah pengembangan masyarakat. Beberapa istilah dan metode diperkenalkan, bagaimana melakukan pengembangan masyarakat.

Pengembangan Masyarakat adalah upaya mewujudkan masyarakat yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk membangun dirinya melalui proses identifikasi masalah, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan kegiatan, serta mengembangkan kegiatan berdasarkan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya. Rasionalisasinya adalah; jika ada kemauan, manusia akan mempunyai kesanggupan belajar untuk berubah. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, manusia akan melalui proses penyesuaian, kesalahan dan kegagalan, menjadi pembelajaran. Manusia itu sendirilah yang menentukan kehidupan yang diinginkan.

Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat menjadi hal yang fundamental dalam pelaksanaan program. Kegiatan harus ditentukan oleh masyarakat, karena mereka lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan. Kegiatan disesuaikan kemampuan masyarakat, karena unsur keswayaan menjadi hal utama. Untuk terus termotivasi diperlukan proses pendampingan dari dari orang luar.

Perdebatan konsepsional yang berkembang selama pelatihan memberikan nuansa baru. Kajian-kajian empiric tentang ketidak mampuan masyarakat dalam membangun dirinya sangat menggugah daya kritis saya. Penyebab terjadinya ketimpangan dan analisis kebijakan pemerintah seperti memompa saya untuk terus mengikuti sesi demi sesi di pelatihan ini.


***


Pada hari keenam pelaksanaan TOT, saya sudah mulai menemukan hal-hal baru, sesuatu yang membuat saya bersemangat. Saya menemukan idealisme baru dari reruntuhan cita-cita besar saya yang selalu ingin menjadi dosen, bankir, wartwan, dan lain-lain. Saya sudah mulai merasa senang dengan cara bermain-main dan memecahkan beberapa kasus yang berkaitan dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat. Sungguh sesuatu yang baru dan membangkitkan fitalitas saya.

Satu hari sebelum pelatihan ditutup pada tanggal 21 Juni 1991, Andi Jamaluddin Ibrahim mengajak saya berdiskusi. Dia menanyakan kepada saya, bagaimana tanggapan dan kesan saya selama mengikuti TOT. Saya jawab; bahwa banyak hal baru yang saya peroleh melalui TOT ini, dan kelihatannya ini menarik untuk didalami. Kemudian Pak Andi melanjutkan pertanyaannya; apakah saya tertarik untuk  mencoba bekerja sebagai pendamping masyarakat ? Pertanyaan ini saya anggap tidak serius, sehingga saya juga menjawabnya tidak serius. Saya bilang; ”akan saya pertimbangkan”, karena saya sedang menunggu peluang untuk menjadi tenaga pengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI), meskipun IPK saya hanya rata 2,5, jauh dari angka yang dipersyaratkan IPK 3,5 untuk tenaga pengajar. Tapi saya tetap optimis bisa diterima karena saya mantan ketua senat mahasiswa fakulats ekonomi UMI.

Rupanya Pak Andi bukanlah orang yang gampang menyerah. Dua hari setelah TOT dilaksanakan, Pak Andi kembali menemui saya dan menanyakan kesiapan saya untuk menjadi tenaga pendamping masyarakat. Saya melihat ini sudah sangat serius, sehingga saya meminta pak Andi menjelaskan apa yang dia maksud dengan pendamping masyarakat, di mana masyarakat yang akan didampingi, dan siapa yang memberikan pekerjaan itu, dan apakah ini sifatnya kerja sosial dan sukarela ?  Kemudian Pak Andi menjelaskan bahwa sebenarnya belum ada daerah yang jelas untuk didampingi, baru mau diusulkan. Rencananya salah satu desa di Kabupaten Polmas (maksudnya; Kabupaten Polewali Mamasa, sekarang sduah berubah menjadi Polman). Mengenai siapa yang akan mempekerjakan, Pak Andi menjelaskan bahwa, program ini nantinya akan dikerjasamakan antara Balai Latihan dan Pengemabngan Masyarakat (BLPM) LAKPESDAM Unit I Ujung Pandang dengan Yayasan Indonesia sejahtra (YIS) Solo.

Setelah mendengarkan penjelasan Pak Andi, saya menyatakan bersedia dan menanyakan apa yang harus saya lakukan. Dengan senyumannya yang khas, Pak Andi mengatakan,” baiklah, kita akan ke besok malam untuk melihat lokasi program, dan setelah itu kita buat proposalnya secara bersama”.

Inilah awal saya secara formal menyatakan siap untuk bekerja sebagai pendamping masyarakat, sebuah pekerjaan yang tidak pernah saya cita-citakan. Keputusan ini kemudian menjadikan saya tersesat ke jalan yang benar. Tresesat, karena di jalan inilah saya menumukan banyak sahabat, menemukan airti pengabdian untuk sesama, dan menemukan arti hidup. Kemudian saat ini, dalam perjalanan yang belum berujung ini, kutemukan bahwa saya begitu mencintai pekerjaan ini karena Tuhan telah menjadikannya jalan hidup untuk saya. Begitu nikmat rasnya bisa berbagi dengan saudara-saudara saya yang masih tergolong miskin dan tertindas.

*******


Dalam perjalan menuju Polmas, Pak Andi mulai bercerita tentang BLPM Lakpesdam NU, yang mendapat amanah untuk memberdayakan warga NU yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Pak Andi mengatakan bahwa posisinya sekarang di BLPM sebagai bendahara, dan posisi itu sudah dijalaninya selama 2 tahun. Dan kemungkinan dalam waktu dekat akan ada perombakan pengurus dan akan melengkapi struktur organisasinya. BLPM Lakpesdam pada awalnya hanya memiliki tiga orang pengurus, masing-masing; satu orang kepala balai, satu sekretaris, dan satu keuangan.

Perjalanan munuju Polmas ditempuh dalam waktu 7 jam perjalanan, dengan jarak kurang tempuh kurang lebih 250 km dari Makassar. Kami tiba di Wonomulyo, Polmas pada jam 00,30 dini hari. Inilah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di wilayah Polmas. Malam itu kami menginap dirumah salah satu pengurus cabang NU Polmas, Salam Isrwanto, sekaligus melaporkan tujuan kedangan kami ke Polmas. Setelah sarapan pagi dan mendiskusikan beberapa hal dengan Pengurus Cabang NU Polmas, kami melanjutkan perjalanan menuju Pambusuang, Kecamatan Tinambung. Jarak tempuh antara Wonomulyo dengan Pambusuang kurang lebih 30 KM, dengan waktu tempuh kurang dari satu jam perjalanan.

Dengan berbekal alamat yang diberikan oleh PC NU Polmas, kami menemui pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Kecamatan Tinambung. Begitu kami turun dari kendaraan umum disekitar pasar Pambusuang, kami menanyakan alamat yang kami tuju pada seseorang, dan langsung ditunjukkan sebuah rumah yang ada sebelah timur pasar Pambusuang. Tidak begitu sulit menemukan alamat yang kami cari, karena sebagian besar penduduk Desa Pambusuang adalah warga NU dan mengenail baik pengurus MWCnya.

Sesampai di rumah yang kami tuju, ternyata orang yang akan ditemui sedang kelaur rumah,  kami diminta menunggu sebentar oleh istri ketua MWC. Sambil meninti kedatangan beliau, kami disuguhi penganan khas Mandar, berupa beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapan dan gula merah. Sembari menikmati sajian dari tuan rumah, saya mengamati foto-foto yang terpajang di dinding rumah. Foto-foto hitam putih yang memperlihatkan kemeriahan kampanye Partai NU di era 60-an  serta beberapa foto  ulama besar NU, membawa saya ke masa kejayaan organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini. Pambusuang memang menjadi basis perjuangan NU di Kecmatan Tinambung.

Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Ketua MWC NU Tinambung datang juga. Pak Andi, kemudian memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kedatang kami ke Pambusuang.  ”Kedatangan kami ke Pambusuang adalah untuk melakukan studi singkat mengenai keadaan desa Pambusuang yang akan menjadi lokasi program pemberdayaan masyarakat NU” demikian Andi jamal menjelaskan. Untuk itu beberapa informasi dan data l yang akan dilihat meliputi; jumlah penduduk dan kepala keluarga, tingkat kemiskinan dan mata pencaharian utama, masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Apabila Desa Pambusuang dianggap layak untuk didampingi maka akan diusulkan ke YIS Solo untuk dikerjasamakan dengan BLPM Lakpesdam NU Unit I Ujungpandang. Ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Tinambung menyanggupi untuk menfasilitasi kami dalam proses pendataan dan pencarian informasi tersebut, dan berjanji akan mempertemukan kami dengan Kepala Desa Pambusuang dan tokoh-tokoh NU di desa tersebut.

Setelah sholat isyah, kami diajak oleh Ketua MWC NU untuk mengikuti acara pengajian rutin yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok mejelis zikir di Pambusuang. Zikir dan pengajian yang dilakukan setiap malam Jum’at itu diikuti sekitar 30 orang jamaah yang semuanya laki-laki.

Kami tiba di tempat zikir, pada saat orang mulai melakukan pembacaan do’a  penutup. Sebelum sampai di tempat zikir, saya mendengar lantunan do’a-do’a dan zikir yang mebuat suasana malam di Pambusuang terasa hikmat. Tidak lama kemudian acara zikir berakhir, dan kami diperkenalkan oleh Ketua MWC NU Tinambung kepada majelis zikir. Saya mulai menatap satu-satu peserta zikir yang berjejer melingkar, dan menemukan beberapa wajah yang kemudian menjadi orang-orang yang sangat mempengaruhi hidup saya.

Setelah kami diperkenalkan dan, kemudian pimpinan majelis zikir menyampaikan ucapan selamat datang kepada kami, dan menyatakan siap membantu dalam melakukan asessesment awal di desa Pambusuang. Nama ketua majelis zikir tersebut adalah Sayyed Jafar Taha, salah seorang tokoh agama yang sangat disegani dan dihormati  di Pambusuang. Usai acara zikir, kami disuguhi penganan has mandar dan kopi hangat. Sambil ngobrol dengan peserta zikir, rupanya Andi Jamal mengenal salah seorang jamaah majelis zikir, namanya Muhammad Ridwan, alumni Institut Agama Islam Negeri (IAN) Ujungpandang.  Pak Ridwan ini adalah sekertaris pengurus majelis zikir tersebut. Selain itu, beliau juga mengajar di pesantren di pambusuang.

Sekitar jam 10 malam, acara zikir dan diskusi selesai. Kami tidak langsung pulang kerumah ketua MWC NU, tapi kami langsung bertamu ke rumah Ridwan untuk menjelaskan lebih rinci tujuan kunjungan kami ke Pambusuang. Malam itu, kami ditawari untuk bermalam di rumah Pak Ridwan, tapi karena sudah terlanjur berada dirumah Ketua MWC, maka kami berjanji untuk menginap besok malammnya.

Pagi setelah sarapan di rumah Ketua MWC, kami pun pamit untuk pindah tempat nginap di rumah Pak Ridwan. Ketua MWC tidak keberatan, dan menyampaikan kalau masih perlu bantuannya, beliau tetap bersedia membantu. Kami pun berangkat menuju rumah Pak Ridwan dengan membawa seluruh barang bawaan kami.

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar