Senin, 30 Desember 2013

FASILITATOR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Profesi Baru Yang Perlu Disertifikasi



Oleh:
Wahyuddin Kessa
(Koordinator Provinsi PNPM-Mandiri Perdesaan Gorontalo)


Apakah Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM) bisa disebut sebagai profesi ? Sehingga perlu dibuatkan standar kualifikasi profesi melalui sertifikasi ? Pertanyaan ini sudah menjadi pro-kontra sejak lima tahun terakhir.
Bagi mereka yang kontra terhadap sertifikasi profesi FPM, memiliki argumentasi bahwa; kerja fasilitator adalah kerja-kerja idealis, yang membutuhkan rasa empati, daya kritis, serta idealisme tinggi. Memperjuangkan visi dan ideology adalah hal yang sangat penting, sehingga apabila ada upaya menjadikan kegiatan ini sebagai “profesi”, maka dikhawatirkan akan merusak komitmen dan idealism fasilitator pemberdayaan masyarakat. Alasannya; “professionalitas” selalu diukur dari seberapa besar “bayaran” untuk suatu profesi berdasarkan standar kerja yang sudah disepakati. Jadi, jika bayaran/upah sudah menjadi alasan untuk bekerja, maka rasa empati terhadap nasip masyarakat akan menurun, kalau tidak bisa dikatakan hilang. Selain itu, juga dikhawatirkan sertifikasi profesi bisa menjadi “penjara” bagi perkembangan kreatifitas fasilitator di dalam mencari solusi bagi persoalan yang dialami oleh masyarakat. Biasanya standar kompetensi kerja diatur sedemikian rupa sehingga bisa diukur secara kuantitatif, karena akan terkait dengan upah atau bayaran.
Tanpa mengabaikan argumentasi tersebut di atas,  akhirnya, mereka yang mendukung dilakukannya sertifikasi profesi bagi FPM memenangkan perdebatan ini, yang ditandai  dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 2012, tentang: Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan Bidang Pemberdayaan Masyarakat Untuk Jabatan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

Sejarah FPM
Tidak ada catatan rinci mengenai sejarah kegiatan pemberdayaan masyarakat di Indoensia. Hal ini hanya bisa ditelusi melalui rekam jejak para penggiat pemberdayaan masyarakat, atau yang dulu dikenal dengan pengemangan masyarakat (community development). Aktifitas ini dulunya hanya dilakukan oleh gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dimulai sekitar awal tahun 1970-an. Dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-an sampai akhir 1990-an. Pada masa-masa itu, penggiat gerakan perubahan social ini mencoba menawarkan model pendekatan pembangunan alternative, yang melibatkan langsung masyarakat di dalam setiap kegiatan pembangunan. Orang-orang yang bekerja di sektor ini (baca LSM) biasanya adalah orang-orang yang memiliki idealisme dan independensi, sehingga mereka lebih memilih disebut sebagai aktifis social, ketimbang disebut sebagai pekerja LSM.
Sebagai kegiatan stimulant, biasanya dikembangkan berbagai program yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan. Program-program pertanian, kesehatan, pendidikan, pengembangan ekonomi mikro, pembinaan kelompok nelayan dan lain-lain, adalah program yang paling banyak dilakukan. Hasil capaian kegiatan bukanlah menjadi tujuan, tapi proses pelibatan masyarakat secara langsung menjadi sangat penting, agar masyarakat bisa merasakan dan mengembangkan kreatifitasnya dalam menata hidupnya sesuai potensi yang dimilikinya. Jadi, sesungguhnya kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah  bertujuan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat, agar mereka bangkit untuk memperjuangkan penghidupannya agar bisa lebih baik.
Orang-orang yang bergiat sebagai pekerja pengembangan masyarakat biasanya disebut sebagai pendamping masyarakat, motivator, atau fasilitator. Mereka-mereka inilah yang secara langsung membantu atau menfasilitasi  masyarakat didalam melakukan kajian, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan masyarakat. Mereka yang bekerja sebagai pendamping, atau fasilitator biasanya adalah orang-orang yang memiliki komitmen dan kepedulian tinggi terhadap nasib yang dialami oleh masyarakat. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan isu-isu pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Dengan berkembangnya program-program berbasis pemberdayaan masyarakat sejak awal dasawarsa 1990-an, baik yang dikelola oleh LSM maupun yang mulai diprakarsai oleh Pemerintah, maka peran fasilitator sebagai pendamping masyarakat dalam pelaksanaan program-program tersebut menjadi semakin banyak dibutuhkan. Kehadiran fasilitator pemberdayaan masyarakat mutlak ada di setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Kebutuhan perogran pemberdayaan masyarakat terhadap tersedianya fasilitator pemberdayaan masyarakat terus meningkat, dan menacapai puncaknya ketika Pemerintah menetapkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai kebijakan payung bagi program-program berbasis pemberdayaan masyarakat pada tahun 2007. Kebijakan ini berkonsekwensi terhadap meningkatnya  kebutuhan akan tenaga Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat dalam mengawal proses pembangunan. Saat ini diperkirakan sekiatar 50.000 orang yang bekerja sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat di berbagai program yang dibiayai oleh Negara.
Dalam perkembangannya, jenis Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat juga sudah beragam sepesifikasinya, sesuai tuntutan pembangunan yang ada, seperti fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknis, fasilitator keuangan, dan sebagainya. Namun demikian, meningkatnya kebutuhan dan keberagaman jenis fasilitator tersebut belum diikuti oleh dikembangkannya standar kompetensi dan jenjang karir yang jelas bagi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat.
Kenyataan yang ada bahwa kebutuhan akan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang memiliki kemampuan yang baik jumlahnya terus meningkat. Ini  menunjukkan bahwa fasilitator pemberdayaan masyarakat telah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah profesi. Dalam rangka mengembangkan profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat beserta sistem penjaminan kualitas terhadap kinerjanya, maka keberadaan sertifikasi profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat mutlak diperlukan.
Sebagaimana yang tertuang di dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat, yang akan menjadi dasar dari Lembagai Sertifikasi Profesai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (LSP-FPM), menyebutkan setidaknya tiga alasan utama mengapa sertifikasi penting dilakukan. Pertama, sertifikasi akan menjamin terselenggaranya layanan pemberdayaan masyarakat yang berkualitas. Dewasa ini masih dijumpai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang sebenarnya tidak atau belum memiliki kompetensi dan atau pengalaman kerja sesuai kebutuhan masyarakat. Kedua, sertifikasi akan menjamin bahwa tenaga Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang dipekerjakan benar-benar memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dan biaya yang telah dikeluarkan. Ketiga, sertifikasi ini merupakan pengakuan terhadap profesinya. Pengakuan ini akan diikuti oleh adanya penghargaan (gaji, upah, dan insentif lain) yang memadai, sesuai dengan standar gaji atau remunerasi yang berlaku bagi seorang tenaga professional dan tingkat pengalaman yang dimiliki. Dengan demikian, masa depan dan keberlanjutan profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat akan semakin terjamin.
Inilah yang menjadi alasan utama mengapa Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat perlu diperjuangkan menjadi salah satu profesi yang diakui, dan perlu disertifikasi agar standar kerjanya dapat dipertanggung iawabkan.
Mencari Titik Temu
Untuk itu, perlu dicari titik temu antara yang mendukung dan yang tidak mendukung pelaksanaan sertifikasi FPM, agar hal-hal yang menjadi kekhawatiran kedua belah pihak dapat dieleminir. Untuk yang mendukung sertifikasi, harus mewaspadai standarisasi profesi yang melupakan unsur-unsur “spiritualitas” dari profesi fasilitator. Fasilitator Pemberdayaan masyarakat, haruslah mereka yang memiliki moralitas dan rasa emapati yang kuat, agar “upah” tidak mengalahkan visi dan misi pemberdayaan masyarakat.
Bagi yang tidak mendukung pelaksanaan  sertifikasi bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat, harus tetap bisa melakukan aktifitasnya tanpa harus dibatasi dengan kewajiban mengikuti sertifikasi profesi. Ini harus dijadikan pilihan terbuka, agar proses pendampingan atau fasilitasi pemberdayaan masyarakat tetap dapat berjalan sesuai visi dan misinya.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar