Senin, 30 Desember 2013

PERJALANAN CINTA PINOGU

 
imageFajar belum terbit, Pak Nani sudah hadir di depan kamar kontrakan saya, untuk mengantar kami ke Suwawa Timur. Seluruh perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya, dinaikkan di kendaraan. Sambil menunggu Adri, asisten fasilitator teknik kabupaten Bone Bolango, yang akan menemani perjalanan saya ke Pinogu, saya memeriksa kembali seluruh perlengkapan yang kami butuhkan, sambil meneguhkan keyakinan.
Tepat jam 5 pagi, Adri tiba di kamar kontrakan saya. Tanpa membuang waktu, kami pun melaju munuju arah timur kota Gorontalo. Udara dingin terasa menusuk tulang, karena jendela mobil dibiarkan terbuka. Adri tidak tahan jika jendela mobil ditutup. Di Kabila, kami menjemput Andi Ismad, Fasilitator Teknik Kecamatan Pinogu. Di Suwawa Tengah kami mampir di warung untuk sarapan pagi. Matahari mulai terlihat dari arah timur, saat kami meninggalkan warung nasi kuning itu.
Jam 7.00 kami tiba di Pasar Tulabulo, Suwawa Timur, tempat terakhir yang dapat di jangkau oleh kendaraan roda empat. Di Tolabulo kami istirahat agak lama, sambil menunggu Arfan, ketua Unit Pengelola Kgiatan (UPK) Suwawa Timur, yang juga akan menyertai perjalanan saya. Dua puluh menit kemudian, Arfan muncul dengan sepatu bot yang lengkap. Melihat Arfan yang sangat siap dan berpengalaman menjelajahi hutan Pinogu, kepercayaan diri saya makin kuat.
Sekarang, sudah ada 3 orang yang akan mengawal perjalanan saya ke Pinogu; Adri, Andi Ismat dan Arfan. Dengan bantuan mereka, saya akan menuju Pinogu dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 30 km mengarungi medan yang menanjak menelusuri lereng-lereng gunung dan melintasi sungai yang berbatu di dalam kawasan Taman Nasional Nani Warta Bone. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika orang baru ke Pinogu dengan rute jalan kaki, biasanya waktu tempuhnya sampai 13 jam perjalanan.
Arfan dan Andi Ismad mengumpulkan seluruh pakaian yang tidak kami butuhkan di perjalanan, kemudian dia titipkan kepada tukang ojek yang akan ke Pinogu, tujuannya agar tidak banyak beban yang harus dibawa di perjalanan. Setelah itu, kami berempat diantar naik ojek ke tempat pendakiaan awal, “tanjakan perkenalan dan selamat datang”.
imageSebelum melakukan pendakian, kami semua berkumpul dan melakukan pelemasan otot. Arfan dan Adri bertanya kepada saya, “apakah bapak sudah siap ?”. Saya jawab; saya siap lahir batin. Bagi saya, perjalanan ini adalah perjalanan bersejarah dan penuh arti. Saya akan buktikan bahwa saya sangat mencintai rakyat Pinogu. Meski ada alternative naik ojek, saya tetap memilih jalan kami, karena saya ingin merasakan apa yang dirasakan oleh saudara saya di Pinogu. Untuk itu; ekspedisi ini saya beri nama “PERJALANAN CINTA PINOGU”.


 
Setelah melemaskan otot-otot dan meneguhkan keyakinan untuk mencapai Pinogu, maka langkah pertama kuayunkan untuk menaiki tanjakan pertama, “tanjakan selamat datang”. Dua puluh langkah pertama terasa ringan, meski kemiringan tanjakan sekitar 30 derajat. Pada dua ratus meter pertama, saya sudah mulai merasakan beratnya tanjakan pertama ini. Napas kuatur sebaik mungkin agar tidak terlihat rapuah oleh Adri, Ismad dan Arfan. Saya mencoba menikmati suasana alam yang indah, dengan sinar mentari pagi yang menerobos lewat sela-sela rindangnya pepohonan, sedikit mengurangi kepenatan yang mulai menggantung di kaki. Ini baru awal, tapi napas sudah agak sulit diatur.

Saya istirahat sejenak di jarak 250 meter pertama, sambil bertanya kepada Ismad, “berapa panjang tanjakan ini Ismad ?”. “Sekitar dua kilo meter pak”, jawab Ismad. Keringatku mulai mengujur deras, kutatap satu persatu orang-orang yang mengawal saya. Arfan mengerti maksudku, “tinggal sedikit lagi tanjakannya yang sulit pak, setelah ini cendrung landai dan sedikit mendaki” kata Arfan member semangat kepada saya. Langkah pun kuayun kembali menuju tempat peristirahatan pertam di jarak dua kilomer.
Tiba di temapt instirahat pertama, sebuah pondok yang menyediakan penganan ringan bagi pejalan kaki, dan waktu telah menunjukkan jam 8.00. Ini adalah pondok terakhir sebelum kami memasuki hutan Taman Nasional Nani Warta Bone. Di tempat ini kami beristirahat cukup lama untuk memulihkan tenaga yang terkuras pada “tanjakan selamat datang”. Sekitar 30 menit waktu dibutuhkan untuk menghabiskan kopi yang dipesan oleh Arfan. Setelah merasa pulih kembali, kami melanjutkan perjalanan.
Dari tempat istirahat pertama ini, kami melalui jalan setapak yang menurun. Ini sangat membantu saya yang sudah hampir kehabisan tenaga. Jalan menurun ini sekitar satu kilo meter hingga di sungai yang airnya terasa asin. Dari sungai ini, kami meneruskan perjalanan dengan sedikit mendaki. Sekitar 15 menit perjalanan, kami memasuki kawasan konservasi burung maleo. Kawasan konservasi ini tidak terlihat ada tanda-tanda aktifitas yang menonjol, hanya hutan bambu dengan papan petunjuk area konservasi.

Setelah mengamati aktifitas di area konservasi burung maleo selamat 5 menit, kami kembali melajutkan perjalanan. Dengan melewati hutan bambu yang cukup lebat, kami mencapai kawasan padang ilalang yang cukup luas. Di tempat ini terdapat mata air panas dengan suhu tinggi yang dapat digunakan untuk memasak telur. Hungayono, demikian orang menyebut sumber air panas tersebut. Kami tiba di temapt ini jam 9.15. Sambil duduk di atas hamparan batu besar, Adri mengeluarkan telur ayam yang akan dimasak di sumber air panas tersebut. Lima belas menit kami menunggu, dan telur itu sudah siap kami santap.
Setelah 20 menit di Hungayono, kami  melanjuan perjalan menuju titik peristirahatan berikutnya. Dua biji telur setengah matang yang saya santap,  menjadi enegi tambahan untuk melakukan pendakian kedua menuju Sungai Pomaguo.****



Perjalanan menurun sampai sungai Pomaguo, membuat perjalan semakin cepat. Hanya 15 menit jalan kaki, kami sudah ada di bibir sungai Pomaguo. Untuk mengefektifkan waktu, kami tidak istirahat di sungai ini, hanya mengisi air minum dari air sungai yang mengalir jernih. Kami baru istirahat agak lama ketika mencapai sungai Utadu tepat jam 10.00.
Arfan mengingatkan kepada saya, agar istirahat lebih lama di sungai Utadu ini. Pendakian yang akan dilalui merupakan pendakian paling sulit. Panjangnya hanya sekitar dua kilo meter, namun kemiringannya mencapai 30 derat. Sambil istirahat, saya minta Adri mengurut betis dan paha saya yang mulai terasa keram. Menurut Arfan, tanjakan ini sudah banyak memakan korban, dan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena mengalami cedera otot. Untuk itu, saran Arfan, jangan memaksakan diri dalam pendakian.
Tiga puluh menit waktu yang kami gunakan untuk istirahat guna pemulihan tenaga. Jam menunjukkan 10.30 di saat langkah pertama ku ayun untuk menaiki tanjakan paling ekstrim di perjalanan ini. Langkah ku atur sedemikian rupa agar bisa mencapai puncak dengan selamat. Perlahan dan sangat hati-hati. Pikiran sengaja kualihkan ke hal-hal yang lain, agar tidak focus memikirkan panjangnya tanjakan ini. Tidak kurang dari sepuluh kali saya singgah istirahat dan menghabiskan air dua botol ukuran sedang. Di jarak perjalanan satu kilo meter, jantung saya mulai berdenyut kencang membuat pendengaran dan pengelihatan saya agak kabur. Adri dan Arfan meminta saya untuk istirahat, sementara Andi Ismad mengawasi saya dari belakang. Saya memilih pohon yang agak besar untuk bersandar. Ku atur napas dan meluruskan kaki yang mulai kelelahan sambil membesarkan hati dan meneguhkan keyakinan bahwa saya pasti bisa.

Saya berhasil mencapai puncak tanjakan setelah berjuang selama dua jam. Arfan menawari saya istirahat dipuncak tanjakan, tapi saya menolaknya. Saya ingin segera tiba di sungai Buluwee untuk makan siang. Kami pun meluncur turun ke arah sungai, dan 15 menit kemudian kami tiba di Sungai Buluwee. Tanpa peduli dengan yang lain, saya langsung buka sepatu dan merendam kaki di air sungai yang dingin. Ku minum air sungai langsung dengan menggunakan tangan, karena sudah tidak sempat mengisi botol air yang sudah kosong. Pengelihatan yang awalnya berkunang kunang berangsur pulih setelah kepala kubasuh dengan air sungai yang segar.
Adri membuka bekal dari ranselnya, kemudian mengajak kami makan. Saya memilih untuk bersandar di batu besar, ada rasa lelah yang menyerang seluruh badan saya. Adri mengantar nasi bungkus di dekat saya, tapi saya tidak mengambilnya. Kubiarkan nasi bungkus itu tergeletak beberapa saat, setelah yang lain selesai makan siang baru kuambil nasi bungkus itu berikut abon sapi yang sudah disiapkan oleh Arfan.
Setelah makan siang, kami lanjutkan pendakian menuju puncak gunung potong. Panjang tanjakan ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter. Di pertengahan tanjakan, paha saya mengalami keram sehingga sulit untuk digerakkan. Saya minta Adri untuk mengurutnya dengan obat oles anti keram yang dibawanya. Butuh waktu 10 menit untuk memulihkan otot saya yang keram. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dengan kaki setengah diseret. Akhirnya kami tiba di puncak gunung potong tepat jam 13,15.****


Di Puncak Gunung Potong, saya sudah merasakan kelelahan yang luar biasa. Kaos IPPMI (Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia) yang saya pakai seluruhnya basah dengan keringat. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan kelelahan, Adri juga sudah kelihatan keletihan. Sementara Arfan dan Andi Ismad tetap segar bugar, mereka tetap wara-wiri memotret alam sekitarnya.
Gunung Potong adalah gunung yang dipotong bagian tengahnya untuk memperpendek jalur perjalanan. Sebelum gunung ini di potong (lebih tepat kalau dikatakan dibelah), pejalan kaki harus memutar sejauh sekitar 60 meter dengan  kemiringan tanjakan  35 derat. Proses pembelahan gunung ini dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita berapa lama proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan pemotongan gunung tersebut mempermudah pejalan kaki melintasi gunung ini.
Menurut Arfan, yang sudah puluhan kali melintasi hutan ini, kami sudah melewati lebih dari setengah perjalanan, dan tidak adalagi tanjakan yang terlalu berat diperjalanan ke depan. Titik perjalanan yang dituju sekarang adalah, Pohulongo, yang merupakan daerah perbatasan Kecamatan Suwawa Timur dengan Kecamatan Pinogu. Kedua kecamatan ini diantarai oleh Sungai Bone yang lebarnya sekitar 100 meter. Sebelum TNI menyelesaikan jembatan gantung Pohulongo dua bulan lalu, penyeberangan dilakukan dengan menggunakan rakit bambu.
Dari Gunung Potong kami melanjutkan perjalanan menurun sejauh  dua kilo meter. Dengan banyaknya pohon-pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan, sedikit menghambat perjalanan. Melintasi pohon besar yang tumbang, ternyata sama sulitnya dengan menaiki tanjakan dengan kemiring 30 derajat. Di setiap akan melintasi pohon, saya harus istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga.
Satu jam perjalanan dari Gunung Potong, kami dengar suara motor. Adri menyampaikan kepada saya bahwa tinggal 20 menit perjalanan akan sampai di jembatan Pohulongo. Saya sangat terhibur dengan penyampaiaan Adri, dan tanpa sadar kuayun langkah secepat mungkin. Dua puluh menit berlalu, jembatan Pohulongo belum juga terlihat. Saya menatap Adri dan Arfan sambil bertanya, apakah langkah saya terlalu lambat sehingga kita belum tiba di jembatan Pohulongo ? . Adri menjawab, bahwa itu adalah cara untuk membuat saya bersemangat dan melangkah lebih cepat. Sialan Adri… !!!
Setelah suara motor itu berlalu, perjalanan kembali sunyi. Saya tidak lagi banyak bertanya, karena Arfan juga sudah tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Di benak saya, hanya ada satu kata; “terus melangkah, sekecil apapun langkah itu akan membuat saya tiba di Pinogu”. Saya terus melangkah dengan melihat ujung-ujung sepatu. Tiba-tiba dari belakang Adri berteriak, “jembatan”. Ya, kami sudah tiba di jembatan Pohulongo, jam telah menunjukkan angka 15.30.
Di Pohulongo, kami istirahat di warung kopi satu-satunya di tempat ini. Kami disuguhi kopi Pinogu yang terkenal itu. Saya menikmati aroma kopinya yang khas, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit. Sungguh kenikmatan yang tiada tara, “KOPI PINOGU”.******


Sambil menikmati kopi PINOGU, di warung kopi Pohulongo, saya mencoba menggali informasi dari pemilik warung, dan beberapa informasi saya tanyakan untuk menghilangkan rasa penasaran saya.

Sebelum melakukan perjalan cinta ini, saya sudah mengumpulkan berbagai informasi mengenai daerah-daerah yang akan dilewati, kesulitan medan, dan bekal apa saja yang perlu kami siapkan. Tentang Pohulongo, saya menemukan kenyataan berbeda dengan cerita yang saya dengar mengenai “seramnya” situasi penyeberangan ini. Cerita tentang buaya yang menghadang, dan lebatnya hutan di sekitarnya ternyata tidak saya temukan. Situasi Pohulongo sudah berubah jauh. Dengan jembatan gantung yang terlihat anggun, dan jalanan yang sudah diperlebar oleh ekspedisi NKRI TNI AD, menghilangkan kesan angker tempat ini.
Menurut pemilik warung, untuk mencapai ibu kota kecamatan Pinogu, yang berjarak 9 km dari Pohulongo, masih dibutuhkan waktu perjalanan selama 2 sampai 3 jam dengan jalan kaki. “Apakah masih ada tanjakan ? “ itu pertanyaan yang saya ajukan ke pemilik warung. Jawabnya, “masih ada beberapa bumbung (gunung), pak, tapi sudah tidak terlalu tinggi dan jalannya juga sudah luas, jadi sudah lebih enak”.
Sambil melirik gelas kopi yang isinya sudah di bawah setengah, saya bertanya kepada Ismad dan Arfan, apakah kita sudah siap melanjutkan perjalanan ?. Saya tidak mendapatkan jawaban sepontan dari mereka. Arfan dan Ismad hanya mengatakan, “kita tunggu sebentar lagi pak”. Saya meraih sepatu dan memasangnya kembali. Kaki saya mulai terasa kesemutan dan pangkal paha agak sulit digerakkan. Saya dihantui keraguan. Apakah saya masih bisa menyelesaikan etape terakhir ini ?. Kulihat Adri juga sudah mengalami penurunan stamina yang luar biasa. Air Oxy yang menjadi andalannya sudah habis karena berbagi dengan saya.
Kulihat jam yang tergantung di warung itu, tepat menunjukkan jam empat sore. Saya berdiri dan mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dua motor melaju dengan suara yang memekakkan telinga mendekati warung kopi. Ismad melambai ke arah motor tadi, dan mereka berhenti di sisi jalan. “Bapak naik ojek saja dengan Pak Adri, biar saya jalan kaki dengan Arfan” kata Ismad kepada saya. “Ismad, ini diluar dari scenario perjalanan saya”. Kalau toh kita harus naik motor sampai ke Pinogu, maka kita harus jalan bersamaan. Saya tidak mau naik motor bersama Adri kalau Ismad dan Arfan tidak naik motor juga. Arfan berusaha membujuk saya, agar saya naik motor bersama Adri, tapi saya bertahan.
Belum selesai kami berdiskusi mengenai siapa yang naik motor dan siapa yang jalan kaki, dua motor kembali meluncur dari arah Pinogu. Rupanya Ismad dan Arfan sudah mengatur scenario penjemputan saya di perbatasan ini. Anak-anak TPK Pinogu, dimobilisasi untuk menjemput kami di Pohulongo. Melihat empat motor parkir di depan kami, Adri tersenyum kepada saya, dan berkatan “ jadi kita naik motor saja pak”. Saya hanya mengangguk dan membalas senyuman Adri. Di dalam hati saya, ada rasa syukur yang dalam karena tertolong oleh kawan-kawan yang mengerti, bahwa sebenarnya saya sudah sangat sulit melanjutkan perjalan dengan jalan kaki. Pangkal paha saya sudah mulai keram dan stamina yang terkuras selama perjalanan sudah sangat menurun.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan motor (ojek). Deru suara empat motor membelah keheningan hutan Pinogu. Medan yang menantang dengan jalur jalur lumpur, membuat jantung saya berdetak kencang. Saya mengakui keahlian anak anak Pinogu membawa motor yang sudah di modifikasi, tidak ada bedanya di arena motor cross dengan special stage. Satu jam perjalan dari Pohulongo ke pusat kota Pinogu. Akhirnya, kami tiba di ruma kepala desa Pinogu jam 17.30.****


Menjejakkan kaki pertama di Pinogu, membuat perasaan saya melambung. Ada rasa syukur yang mendalam, bahwa Tuhan berkenan menolong saya dalam perjalanan sehingga saya bisa tiba dengan selamat di tempat yang merupakan awal dari Gorontalo. Kepala Desa Pinogu dan istrinya, menyambut saya dengan ramah. Tanpa basa-basi, tapi dari senyum tulus keduanya membuat rasa pegal seluruh badan saya hilang.
 Metro (FK Pinogu), bersibuk diri merapikan ransel saya yang tergelatak di teras. Hanya berselang beberapa menit, Ibunda sudah menyuguhkan kopi pinogu dengan aromanya yang khas. Senja semakin menua, serupuk demi serupuk kopi itu kunikmati. Ada rasa haru yang menyelimuti perasaan saya, bahwa di Pinogu nilai ketulusan dan kebersamaan masih sangat terasa. Andi Ismad kemudian mengajak kami ke sungai untuk mandi. “Agar rasa pegal-pegalnya hilang, ada baiknya bapak ke sungai berendam” kata Ismad mengajak kami ke sungai.
Di sungai yang jernih itu kami berendam. Batu-batu krikil yang bersih, seolah menjadi alat pemijat refleksi di kaki dan di punggung saya. Kunikmati air pegunungan itu dengan suka cita. Entah sudah berapa lama saya tidak menikmati suasana pedesaan seperti ini. Tanpa terasa hampir satu jam kami berendam di sungai.
Setelah sholat magrib, Adri menawarkan kepada saya untuk mengurut paha dan kaki saya. “Pak, saya urut dulu sebelum istirahat. Biasanya kalau tidak diurut, bangun paginya agak kesulitan, kaki biasanya tidak bisa digerakkan” kata Adri. Saya menurut saja, dan Adri mengambil minyak gosok cap tawon yang sudah dia persiapkan sejak dari Gorontalo.
Setelah diurut, Ibunda mepersilahkan kami makan malam. Tidak banyak aktifitas yang saya lakukan malam itu. Arfan menyarakan kepada saya untuk segera istirahat, supaya besok pagi bisa lebih segar agar dapat mengikuti  seluruh acara yang sudah dirancang oleh Metro.
Jam, 8.30, saya masuk kamar. Cuaca dingin Pinogu mengharuskan saya menggunakan jaket untuk tidur. Bagun pagi, kaki saya sudah tidak bisa saya gerakkan. Saya memanggil Adri untuk membantu saya berdiri. Adri datang dengan minyak gosoknya. Dia mengoleskan ke paha dan betis saya. Lima menit kemudian saya sudah bisa melangkah dengan kaki diseret. *****


Menikmati secangkir kopi pinogu di pagi hari, memiliki sensasi tersendiri. Saya sudah nikmati banyak kopi dari seluruh negeri, tapi kopi pinogu memiliki cita rasa yang khas. Rasanya mirip-mirip kopi Mandailing Sumatra Utara atau kopi Takengon Nangro Aceh Darussalam. Aroma kopinya tidak terlalu menusuk seperti kopi Kalosi atau kopi Toraja, tapi kopi Pinogu lebih terasa ketika sudah dimulut.
Sambil menikati kopi pinogu, saya menanyakan arti “PINOGU” kepada Ayahanda Kepala Desa Pinogu yang menemani saya minum kopi pagi itu. Menurut beliau, secara harfiah, PINOGU artinya gelangggang tempat berkelahi. Sebelum Gorontalo terbentuk, raja-raja Suwawa menjadikan daerah ini sebagai tempat mengadu kesaktian dan keperkasaan bagi calon-calon pemimpin Suwawa. Dari akar sejarah inilah terlihat, daerah Pinogu memang daerah “keras”. Orang-orangnya memiliki daya juang dan semangat yang tinggi. Ini terbukti, dari penataan kampong dan rumah-rumah yang ada di Pinogu. Meski daerah terisolasi, tapi bangunan yang ada rata-rata rumah batu permanen. Sekedar informasi, harga semen satu sak di Pinogu bisa mencapai Rp. 300.000,-.
Selain kata PINOGU, saya juga mendapat cerita menarik tentang burung maleo. Menurut sekretaris desa Dataran Hijau, burung maleo juga dikenal dengan nama local “tuangge” yang artinya burung peliharaan raja. Dulunya, burung maleo hidupnya bukan di hutan, karena dipelihara oleh raja di sekitar kediamannya. Tapi suatu kejadian membuat raja murka akhirnya “tuangge” di buang ke hutan. Ceritanya begini; burung maleo setiap akan bertelur selalu menggali tanah atau pasir dengan kedalaman tertentu untuk menyimpan telurnya. Perilaku maleo inilah yang hampir meruntuhkan istana raja, karena tanah yang menyangga tiang istina raja habis digali oleh si maleo.
Selesai mendengar cerita dari Ayahanda Kepala Desa Pinogu dan Sekdes Dataran Hijau, Metro dan Arfan mendekati dan mengingatkan saya, agar segera bersiap untuk menghadir sejumlah acara yang sudah diatur oleh Metro dan Andi Ismad. Kami bergegas ke sungai untuk mandi pagi.******

PERJALANAN CINTA PINOGU (8)
Memulai jadwal saya di pagi hari dengan mengunjungi beberapa program yang di bangun PNPM Mandiri Perdesaan, sejak tahun 2007, saat itu Pinogu belum dimekarkan menjadi kecamatan. Metro mengatur kunjungan pertama saya ke taman kanak-kanak (TK) yang dibangun PNPM-MPd tahun 2007. Bangunan TK yang terdiri dari 3 kelas dan satu ruangan kantor untuk guru, masih berdiri kokoh dan kondisi bangunan yang masih sangat baik. TK ini sangat bermanfaat untuk membantu pendidikan anak usia dini di Pinogu.
Di sebelah TK, berdiri Puskesmas Pinogu yang terlihat asri. Sebelum melanjutkan kunjungan ke tempat lain, saya menyempatkan diri singgah di Puskesmas untuk diskusi dengan pengelolanya. Saya ingin tahu kondisi kesehatan masyarakat Pinogu, dan penyakit-penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat. Menurut penjelasan perawat yang saya temui, jumlah pasien yang berobat di Puskesmas Pinogu, rata-rata 10-15 pasien perhari. Jumlah ini tergolong kecil untuk Puskesmas. Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit radang tenggorokan (ISPA) dan reumatik. Ini akibat kondisi cuaca di Pinogu yang sangat dingin di waktu malam.
Sebelum meninggalkan Puskesmas, saya meminta salah seorang perawat senior, Dalle yang ternyata berasal dari Makassar;  memeriksa tekanan darah saya. Hasilnya, 110 per 70. Tekanan darah saya ternyata rendah dari biasanya 120 per 80. Kemungkinan ini disebabkan stamina saya banyak terkuras akibat perjalanan yang melelahkan selama 10 jam. Saya disarankan untuk meminum air putih dan makanan tambahan yang cukup agar stamina pulih kembali.
Dari Puskesmas kami melanjutkan perjalanan ke lokasi pendidikan usia dini (PAUD). Bangunan PAUD ini sebenarnya sudah tidak layak dan kurang aman untuk anak-anak. Melihat keceriahan anak-naka dan optimisme guru-gurunya yang sukarela, membuat saya terharu. Meski berada di daerah terisolasi, mereka tidak kehilangan harapan untuk meningkatkan pendidikan anak-anaknya. Semoga dari mereka lahir pemimpin-pemimpin masa depan negeri ini. Amien…..****


Setidaknya ada tiga acara yang harus saya hadiri hari ini. Setelah mengunjungi PAUD, saya melanjutkan perjalan ke Desa Dataran Hijau. Di desa ini kami akan mengikuti acara penyerahan bantuan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu.
Tiba di tempat acara, saya disambut oleh sejumlah anak-anak dengan sorot mata kegembiraan. Saya menyalami satu persatu orang tua mereka, dan berdiskusi dengan Sekretaris Desa Dataran Hijau. Acara dimulai dengan pembacaan doa, agar apa yang kita lakukan mendapat berkah dari Allah SWT. Pada kesempatan sambutan, saya sampaikan bahwa saya sangat senang bisa mengunjungi Pinogu dan bersilaturahmi dengan saudara-suadara saya yang berada di pelosok daerah terpencil. Bantuan bea siswa yang diberikan oleh PNPM-MP adalah bantuan yang bersifat stimulant dan sementara. Jadi, sebagai orang tua, kita wajib mempersiapkan pendidikan bagi anak-anak kita, agar mereka kelak menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.
Setelah acara penyerahan beasiswa selesai, saya sempatkan diri mengunjungi program listrik desa yang dibiaya PNPM-MP pada tahun 2012. Ada 90 rumah yang mendapat bantuan, hanya 2 alat yang sudah tidak berfungsi kare infertenya terbakar. Masyarakat Pinogu memang masih sangat membutuhkan listrik.
Selesai melakukan kunjungan di Desa Dataran Hijau, kami kembali istirahat. Sebelum tiba di rumah kepala Desa Pinogu, tempat kami mondok, tiba-tiba ada kabar bahwa ada robongan  PNPM-MP melakukan perjalan ke Pinogu dengan rute jalan kaki. Jumlah mereka 8 orang, dua diantaranya perempuan. Menurut pembawa kabar, bahwa mereka sudah ada di Pomaguo atau setengah perjalanan menuju Pohulongo, dan kelihatannya sudah sulit melanjutkan perjalanan.
Mendengar kabar tersebut, membuat saya gelisah dan bertanya-tanya, siapa rombongan yang menyusul kami ke Pinogu ? Saya meminta Adri dan Metro untuk mencari informasi tentang siapa-siapa teman-teman yang menyusul kami. Pada saat kami mengikuti acara pelatihan BKAD dan Tim Penyusun RPJM Des di Kantor UPK Pinogu, jam 4 sore saya mendapat kabar bahwa mereka adalah Tim Faskab Bone Bolango yang disertai oleh beberapa FK dan FT. Mereka adalah Adnan (Faskab), Farid (Fatekab), Jufri (Faskeu) Opan (Ass Faskab) dan tiga orang FT dan FK. Mendengar nama-nama mereka saya sudah mulai khawatir apakah mereka bisa tiba di Pinogu ?
Setelah sholat magrib, kami mendapat kabar bahwa rombongan tersebut sudah tiba di Pohulongo dengan kondisi yang sudah sangat lelah. Mendengar kabar tersebut, saya minta Andi Ismad, Arfan dan Metro untuk menyusul mereka ke Pohulongo. Saya sangat prihatin, membayakan mereka menginap di daerah perbatasan tanpa perlengkapan dan bekal yang cukup. Beberapa saat kemudian, Metro sudah siap dengan sejumlah ojek yang akan menjemput mereka di Pohulongo. Dua jam kemudian, mereka sudah tiba di Pinogu dengan kondisi yang sangat lelah. Adnan terlihat letih, dia demam dalam perjalanan, sementara Ira (FT) satu-satunya perempuan yang ikut di rombongan ini, sudah menagis di perjalanan.
Seprti biasa, Adri langsung mengeluarkan minyak gosoknya untuk mengurut mereka yang sudah sulit menggerakkan kakinya. Ira mendapat kesempatan pertama, menyusul Farid dan Opan. Setelah menikmati hidangan makam malam dan kopi pinogu dari Ibunda, kami pun kembali beristirahat, dan terlelap hingga pagi yang dingin.****


Mengahiri kunjungan saya di Pinogu, saya merasa perlu berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu saya selama perjalanan ke Pinogu. Mereka-mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa dan berperan mengantar saya hingga bisa menjejakkan kaki di Pinogu. Ini adalah pengalaman yang sangat bersejarah dalam hidup saya, jalan kaki sejah 32 km ditengah hutan belantara Taman Nasional Nani Warta Bone. Mereka-mereka adalah:
ADRI DULDU, asisten Fastekab Bone Bolango. Beliau dengan senang hati menemani saya melakukan perjalanan yang penuh tantangan. Adri sudah melakukan perjalan ke Pinogu sebanyak dua kali. Adri adalah pribadi yang hangat, sangat bersahabat, pekerja yang tekun. Dia sudah malang melintang di dunia konsultan pemberdayaan masyarakat, mulai dari Sulawesi selatan, Jawa, Kalimantan, hingga kembali ke kampung halamannya di Gorontalo. “Adri, terima kasih telah membuat saya lebih bersemangat untuk mencapai Pinogu”
ANDI ISMAD, Fasilitator Teknih (FT) Pinogu. Anak muda ini berperawakan jangkung dengan tingga hampir 180 cm. Orangnya tenang, jarang bicara tapi menunjukkan charisma seorang pengabdi yang kuat. Dia memilih untuk ditempatkan di Pinogu adalah bukti Andi Ismad memiliki kecintaan dengan rakyat yang terpinggirkan. Andi Ismad menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Tekni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, kemudian merantau ke Gorontalo untuk bergabung dengan PNPM-MP. Rute jalan kaki yang melitasi hutan lindung Nani Warta Bone, bagi Andi Ismad, adalah jalan perenungan. Ismad tidak lagi merasakan kesulitan melewati jalan-jalan yang terjadi di sini. Ismad sudah menjadikan jalan itu sebagai jalan kenikmatan karena dia sangat mencintai alam yang diciptakan Tuhan. “Terima kasi Ismad, anda telah membuat saya banyak belajar tentang Pinogu dan segala dinamikanya”.
ARFAN, Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Suwawa Timur Kabupaten Bone Bolango. Bagi Arfan, perjalanan ke Pinogu sudah menjadi hal yang rutin. Dia tidak lagi merasakan lelah dan rasa capek dalam perjalanan. Arfan sudah seringkali menemani tamu yang akan ke Pinogu. Di sepanjang perjalanan, Arfan menjadi pemandu yang sangat baik. Dia memahami setiap jengkal tanah dan rute perjalanan menuju Pinogu. Selain itu, arfan ternya fotografer yang handal sehingga dokumentasi foto-foto sepanjang perjalanan menjadi lengkap dan menarik. Untuk itu, saya sangat berterima kasih kepada Arfan, yang dengan keikhlasannya membantu saya membawakan barang-barang yang saya butuhkan di perjalanan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana situasi perjalanan saya tanpa Arfan.
MATRO, Fasilitator Kecamatan (FK) Pinogu. Metro tidak mendampingi saya dalam perjalanan, tapi Metrolah yang mengatur seluruh jadwal saya di Pinogu. Metro juga yang mengatur penjemputan saya di Pohulongo, sehingga saya bisa tiba di Pinogu sebelum magrib. Metro adalah orang muda yang idealis. Dia memilih ditempatkan karena ingin tantangan dan konsern membantu masyarakat desa yang terisolasi. “Terima kasih Metro, anda telah membuat saya bisa memahami program di Pinogu”.
Selain itu, saya juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberikan semangat dan doanya, sehingga saya bisa menginjakkan kaki di Pinogu.*****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar