Sekembali ke Makassar, saya
tidak langsung bergabung dengan kawan-kawan aktifis LSM di Makassar. Saya
memilih pulang kampung untuk bertemu orang tua, sambil melakukan
perenungan-perenungan kecil di kebun rambutan saya. Seminggu lamanya saya
menyibukkan diri di rimbunnya kebun rabutan. Saya tidak lagi mengikuti
perkembangan politik paska lengsernya Pak Harto. Sengaja itu saya lakukan untuk
menghilangkan rasa dongkol saya atas apa yang terjadi di negeri ini. Klimaks
perjuangan menjatuhkan rezim orde baru, menjadikan para aktifis seolah lupa
tentang bagaimana kelanjutan dari perjuangan itu. Seolah-olah tujuan utama kita
hanya sampai pada jatuhnya Sueharto bersama rezimnya.
Setelah mengasingkan diri
selama seminggu di kebun, saya kembali ke Makassar. Tiba di rumah, saya membaca
Koran yang hampir seluruh isinya memuat tentang demo dan tarik menarik
penyusunan kabinet baru yang akan dipimpin oleh Presiden BJ Habibi. Dari Koran
yang saya baca, ada kesan situasi sudah mulai kondusif, roda pemerintahan mulai
berjalan kembali. Tentu ini memberikan harapan besar bagi saya, agar program
PPK yang sudah siap jalan, bisa kembali dilanjutkan.
Tempat pertama yang saya kunjungi
di Makassar sepulang dari kebun, adalah BLPM Lakpesdam Unit I ujungpandang,
lembaga yang membesarkan saya di dunia LSM selama 7 tahun. Di kantor Lakpesdam
saya bertemu dengan banyak kawan, mereka terus berdiskusi mengenai situasi
politik terakhir. Setelah menyapa dan menyalami kawan-kawan di Lakpesdam, saya
langsung menumui Andi Jamaluddin Ibrahim, Direktur Lakpesdam Makassar, guna
menyampaikan perihal kepulangan saya dari Jakarta. Saya sampaikan ke Andi
Jamal, bahwa belum ada kepastian kelanjutan kontrak saya dengan CII sebagai Tim
Trainer PPK. Untuk itu saya minta kembali bergabung dengan kawan-kawan di
Lakpesdam guna membantu beberapa program yang sedang dijalankan. Andi Jamaludin
setuju, dan meminta saya melakukan review terhadap beberapa modul pelatihan
lingkungan yang sudah dibuat kawan-kawan di Lakpesdam.
Belum sempat menyelesaikan
review modul yang ditugaskan kepada saya, CII kemabli meminta saya ke Jakarta
untuk melanjutkan pekerjaan yang terhenti karena pergantian rezim. Sepertinya
pemerintahan baru sudah membangun komitmen baru dengan pihak Bank Dunia sebagai
donor dari program PPK. Bank Dunia sebagai lembaga pemberi utang kepada
Indoensia, cukup gigih menawarkan konsep PPK kepada pemerintahan baru agar program
ini tetap dilanjutkan.
Pertengahan Juni 1998, saya
kembali bergabung dengan Tim CII di Jakarta. Kami menempati kantor di Jl. Cik
Di Tiro, Jakarta Pusat, sebagai kantor National Management Cunsultan (NMC) KDP/PPK.
Di Kantor yang masih darurat inilah kami memulai melengkapi beberapa panduan dan
modul training yang tidak sempat diselesaikan di Yogyakarta. Selain itu, kami
juga ditugasi melakukan seleksi berkas calon fasilitator kecamatan dan calon
konsultan manajemen kabupaten (KM-Kab) program PPK.
Selama sebulan berkantor di
NMC Jl. Cik Di Tiro, tidak ada lagi perdebatan substansial antara saya dengan
Susanto. Kami semua focus menyelesaikan sejumlah format dan panduan yang akan
melengkapi manual teknis PPK. Saya mendapat bagian tugas untuk merancang dan
melengkapi panduan Unit Pengelola Keuangan (UPK). Tentang UPK ini memang menjadi
sesuatu yang krusial pada saat dibahas di Yogyakarta. UPK sebagai kelembagaan
baru yang akan dibentuk di kecamatan, menimbulkan banyak pertanyaan, mulai dari
bentuk organisasinya, rekruitmen personilnya, tugas dan tanggung jawab yang
harus diembannya, sampai pada status bandan hukum dari UPK, menjadi pertanyaan
kritis dari peserta workshop.
Kehadiran lembaga UPK di
dalam skema PPK adalah untuk mempermudah akses masyarakat miskin dalam
memperoleh permodalan. Sebab berdasarkan kajian kemiskinan yang sudah
dilakukan, diketahui bahwa salah satu factor penyebab kemiskinan adalah
sulitnya masyarakat miskin memperoleh modal usaha, sehingga tidak bisa
mengembangkan usahanya. Diharapkan dengan terbentuknya UPK akan menjadi sumber
pendanaan altertatif bagi usaha-usaha mikro di perdesaan yang dikelola sendiri
oleh masyarakat. UPK akan menjadi motor dari pengelolaan dana bergulir dari
program PPK. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana aspek legalitas
keberadaan UPK paska PPK berakhir. Beberapa pendapat saat itu, menyarankan UPK
berubah menjadi koperasi, atau badan hukum sendiri seperti BMT. Sampai dengan
PPK berjalan satu tahun, UPK belum memiliki status hukum. Victor Bottiny, Tim
Leader NMC KDP waktu itu,mengatakan “ kita jalan saja dulu sambil berpikir
tentang bagaimana kedepan status UPK. Karena krisis yang terjadi saat ini tidak
boleh tertunda penanganannya karena akan berdampak lebih luas”.
Setelah seluruh modul
pelatihan selesai dibuat dan beberapa format yang menjadi lampiran Manual
Teknis PPK, kami melakukan rapat khusus persiapan recruitment dan pelatihan
fasilitator kecamatan (FK). Kami dibagi ke dalam 4 tim yang merupakan gabungan
dari tim trainer CII dan tim pelatih dari Direktorat Jenderal Pembangunan
Masyarakat Desa (Ditjen PMD). Saya bergabung di tim tiga, dengan anggota 5
orang, masing-masing dari CII 3 orang dan dari Ditjen PMD 2 orang. Tim kami
mendapat tugas ke Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Sulwesi
Tenggara, DIY dan Jateng, serta Lampung dan Sumatra Selatan. Di setiap propinsi
kami akan menghabiskan waktu sekitar satu bulan untuk persiapan, seleksi calon
fasilitator kecamatan dan pelatihan fasilitator kecamatan selama 21 hari
efektif.
Sekitar minggu kedua Juli
1998, Tim kami berangkat munju Kupang Nusa Tenggara Timur. Saya berangkat
bersama Nensi Fono dan Frans Priyono,
sementara dua orang dari Ditjen PMD akan menyusul kami menjelang pelatihan
dilaksanakan. Di Kupang, kami bekerja
sama dengan Perusahan Konsultan yang akan merekrut fasilitator kecamatan (FK) PPK.
Hari pertama di Kupang, kami mencocokkan data calon FK yang ada di perusahan
konsultan dengan data yang kami bawa dari NMC Jakarta. Setelah proses
klarifikasi data dan curriculum vitae calon FK selesai, pihak perusahaan
konsultan mengundang calon FK untuk mengikuti seleksi aktif. Sebanyak 53 orang
calon yang diundang untuk mengikuti seleksi, dan akan dinyatakan lulus sebanyak
30 orang.
Peroses seleksi dalakukan
dengan tiga tahap. Tahap pertama, calon FK diwawancarai oleh tim seleksi yang
terdiri dari tiga orang. Materi wawancara meliputi; pertanyaan pengalaman
pendampingan, pengetahuan tentang situasi perdesaan dan kemiskinan, dan
kemapuan fasilitasi masyarakat. Tahap kedua, mereka dibagi kedalam beberapa
kelompok (terdiri dari 10 orang) untuk melakukan diskusi tematik. Proses ini
bertujuan melihat kemampuan calon FK dalam berkomunikasi, berargumentasi, dan penguasaan
terhadap tema diskusi. Dari proses ini juga akan terlihat sikap pribadi
masing-masing calon FK, apakah calon tersebut cukup toleran atau memliki
keakuan yang tinggi. Dari dua tahapan ini, tim seleksi akan memilih 30 orang
yang dinyatakan lulus untuk mengikuti pelatihan calon FK. Tahap ketiga, seleksi
dilakukan pada saat peserta mengikuti pelatihan.
Inilah pengalaman pertama
kami melakukan seleksi FK. Ternyata tidak mudah. Standar penilaian yang
dirumuskan di NMC Jakarta mungkin terlalu tinggi untuk kapasitas sumberdaya
manusia yang ada di NTT. Dari hasil seleksi tahap satu dan dua, ternya hanya
sekitar 15 orang yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan mengekitu
pelatihan calon FK. Setelah berkonsultasi dengan NMC dan Bappenas, akhirnya
standar tersebut diturunkan guna mengakomodir calon FK yang mendekati nilai
ideal tersebut. Tim seleksi kemudian memutuskan 30 orang calon FK dinyatakan
lulus untuk mengikuti pelatihan selama 21 hari.
Rancangan pelatihan FK selama
21 hari ini, materinya dibagi lima bagian.
Bagian pertama; pradaya, dengan materi-materi perkenalan, penjelasan alur, dan
bina suasana. Bagian kedua; penjelasan umum program, yang meliputi latar
belakang, tujuan dan strategi program. Bagian ketiga; motifasi dan sipirit,
meliputi idologi pengembangan masyarakat, pendidikan orang dewasa, kepemimpinan
situasional, strategi pendampingan dll. Bagian
keempat; materi terkait dengan pemahaman tahapan kerja program, penggunaan
format-format sebagaimana diatur di dalam manual teknis PPK. Bagian kelima;
evaluasi dan penyusunan rencana kerja masing-masing fasilitator.
Akhirnya, pelatihan FK
selama 21 hari efekti di Kupang selesai. Sebanyak 27 orang dinyatakan lulus dan
siap ditempatkan. Dua orang dinyatakan cadangan dan satu orang mundur dari
pelatihan karena sakit. Dari pelatihan angkatan pertama inilah kami belajar
banyak tentang proses seleksi dan pelatihan fasilitator kecamatan PPK. Masih
banyak yang harus dibenahi. Kami punya
waktu sepuluh hari untuk melakukan perbaikan sebelum angkatan kedua dimulai di
Makassar dan angkatan ketiga di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar