Berawal dari Kebetulan.
“Kebetulan”, kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana
awalnya saya memulai aktifitas pada dunia pengembangan masyarakat. Suatu siang,
di awal Juni 1991 di kampus Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar, secara kebetulan saya bertemu dengan Andi
Jamaluddin Ibrahim, salah seorang sahabat saya yang lama baru berjumpa. Dalam
pertemuan itu, terjadilah dialog sebagaimana layaknya seorang sahabat yang lama
baru bertemu.
“ Apa kabar ? Dari mana saja baru
kelihatan ? Saya dengar anda kerja di Jakarta”, demikian Andi Jamal
memulai pembicaraan. “ Sudah sebulan saya tinggalkan Jakarta Pak andi. Tidak
lama saya di sana, hanya satu bulan. Kelihatannya saya tidak cocok hidup di
Jakarta, terlalu keras untuk orang seperti saya” saya menjelaskan pertanyaan Andi Jamal.
“Sekarang apa kegiatannya ?, Pak Andi
kembali bertanya. “Tidak begitu jelas Pak Andi, saya baru mau cari-cari
kesibukan” jawab saya. “Wah.. kebetulan, kami sedang melakukan pelatihan, dan pesertanya
masih kurang dua orang, kalau berminat bisa segera bergabung. Pelatihannya
sudah berlangsung dua hari dari 21 hari yang direncanakan” demikian Andi Jamal
menjelaskan. ”Apakah pelatihan tersebut harus dibayar Pak Andi ?, saya
bertanya. “Tidak” jawab Andi Jamal. “ Kalau begitu saya berminat” kata saya,
sambil mengajak dia berteduh di bawah mesjid kampus I UMI.
Setelah Pak Andi Jamal menjelaskan
beberapa hal terkait dengan pelatihan tersebut, dan menyampaikan apa yang harus
saya siapkan, sekaligus menunjukkan alamat tempat pelatihan, maka saya segera
meluncur ke tempat pelatihan tersebut. Tiba di tempat pelatihan tepat pukul
15.30, dan peserta sedang istirahat sore. Begitu tiba di tempat pelatihan, saya
menghubungi panitia untuk didaftar sebagai salah seorang peserta pelatihan.
Setelah terdaftar, dan memperoleh kit pelatihan saya diminta bergabung dengan
peserta lainnya. Tidak begitu sulit bagi saya untuk berinteraksi dengan
peserta, karena hampir 80% pserta ternyata adalah teman-teman saya juga.
Setelah bertegur sapa dengan peserta
yang lain, saya diperkenalkan dengan salah saorang pelatih dari Jakarta. Beliau
adalah Pak Masykur, salah seorang pengurus LAKPESDAM NU. Setelah berbincang
dengan Pak Maskur, saya mulai memperhatikan sepanduk yang tergantung di ruangan
pelatihan. “PELATIHAN PELATIH PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KERJASAMA YAYASAN
INDONESIA SEJAHTERA (YIS) DENGAN LAJNAH KAJIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA (LAKPESDAM) NU”. Demikian bunyi spanduk tersebut. Saya berusaha untuk
tidak bertanya kepada siapapun, meskipun saya tidak begitu mengerti apa yang
tertulis di spanduk tersebut.
Selesai istirah sore, pelatihan
dimulai lagi. Sebagai peserta baru saya diminta memperkenalkan diri. Dengan
sedikit “pongah” saya memperkenalkan diri, mulai dari menyebut nama, alamat,
pengalaman organisasi, sampai pada menjelaskan bahwa saya baru saja pulang dari
Jakarta. Semua orang bertepuk tangan, dan saya “merasa” sukses memperkenalkan
diri, padahal, itu adalah awal yang memalukan.
Sejak sore itulah saya baru mengenal
beberapa peristilahan yang sering dipakai oleh orang-orang yang bergerak
dilingkunagn Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dan pada saat itu pula saya baru mengetahui bahwa Andi Jamaluddin Ibrahim
adalah salah sorang pengurus Balai Latihan dan Pengembangan Masyarakat (BLPM)
LAKPESDAM Unit I Ujung Pandang, yang merupakan lajnah dibawah PB NU. Dan BLPM
LAKPESDAM NU adalah salah satu LSM di Sulawesi selatan.
***********
Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya.
Setelah mendengarkan penjelasan mengenai konsep POD tersebut, saya mulai tertarik, meski masih ada sesuatu yang mengganjal. Ini merupakan pengetahuan baru bagi saya, dan memberikan perspektif baru pula dalam melaihat konsep pendidikan yang selama ini dilakukan. Saya sudah mulai merenung-renung tentang konsep pelatihan yang selama ini saya ikuti. Ada kemelut yang menggantung dalam pikiran saya, antara menyadari kekeliruan selama ini dan keakuan saya sebagai orang yang “merasa pintar”.
***********
Meteri yang dibahas sore itu adalah
materi pendidikan orang dewasa (POD) atau yang sering dikenal dengan andragogi.
Ini adalah untuk pertama kalinya saya mendengar istilah POD dan andragogi.
Pelatih yang mengarahkan pelatihan saat
itu adalah Ibu Mantini Sofyan, salah seorang pelatih senior dari Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) Solo. Ibu
Mantini begitu interaktif dengan peserta, dengan metode pasrtisipatif. Dia
memulai materi dengan mengajak peserta bermain, kemudian meminta peserta
memberi tanggapan atas permainan yang sudak dilakukan. Sebagian peserta
memberikan jawaban dan Ibu Mantini menuliskannya di kertas yang ditempel di
papan tulis. Saya tidak memberi tanggapan, kecuali tetap menyembunyikan rasa
penasaran dan ketidak puasan saya terkait dengan metode pelatihan. Saya tidak
melihat ada meja didepan, dan disana duduk seorang pembicara, seperti
pelatihan-pelatihan yang sering saya ikuti. Kursi diatur setengah lingkaran,
sehingga Ibu Mantini bisa berjalan secara leluasa mendekati masing-masing
peserta, sambil bercanda dan bermain-main.
Tigapuluh menit pertama pelatihan
berlangsung, saya belum bisa menangkap arah pembicaraan dan metode yang digunakan
oleh pelatih. Saya ingin pelatih menjelaskan secara langsung apa yang dimaksud
POD, bukan menanyai semua orang tentang apa yang dimaksud POD. Karena menurut
saya medote ini akan membuang-buang waktu. Tiba giliran saya ditanya, sambil
menyebut nama saya, Ibu Mantini, bertanya apa yang saya ketahui tentang POD.
Dengan dasar logika sendiri, saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
“Menurut saya POD adalah pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa”. Kemudian
Ibu Mantini menulis pendapat saya tersebut di kertas yang ditempel di papantulis
bersama pendapat peserta lainnya. Dianta sekian pendapat yang ada, saya merasa
pendapat saya yang paling menar.
Setelah seluruh peserta memberikan
pendapatnya, Ibu Mantini memberi komentar terhadap sejumlah pendapat yang ada.
Menurutnya semua pendapat benar, dan saling melengkapi. Komentar Ibu Mantini
semakin membuat saya tidak puas. Seharusnya ada pendapat yang paling benar,
bukan semua pendapat benar. Dengan daya
kritis yang saya miliki, saya minta Ibu Mantini menyimpulkan mana pendapat yang
paling benar. Tapi Ibu Mantini mengembalikan pertanyaan tersebut kepada saya, untuk membuat
kesimpulan mana pendapat yang paling benar. Dan ini membuat saya tersudut,
karena sesungguhnya saya tidak mengetahui apa yang dimaksud POD. Dengan
diplomatis saya katakan, “kalau saya tahu tentang apa yang akan dipelajari
dipelatihan ini, lebih baik saya tidak ikut”. Dan akhirnya Ibu Mantini menutup pelatihan
sore itu dengan satu kesimpulan, bahwa kita akan bahas lebih dalam mengenai POD
secara menyeluruh besok pagi sampai siang.
*******
Keesokan harinya, materi POD kembali
dilanjutkan. Sebelum sesi
dimulai, Ibu Mantini mengajak peserta bernyanyi. Saya tidak ikut
bernyanyi, karena saya merasa ini adalah cara anak-anak. Saya tidak suka
bermain-main, karena saya menganggap bahwa cara-cara seperti itu tidak serius
untuk pelatihan sepenting ini. Stelah proses awal tersebut, Ibu Mantini meminta peserta
mengingat kembali apa yang dibahas selama satu hari kemaren. Beberapa orang
mencoba menjelaskan dan Ibu Mantini kembali mencatat di kertas yang ditimpel di
papantulis.
Setelah mengomentari beberapa hal
terkait dengan pembahasan hari kemaren, dan membuat kesimpulan-kesimpulan
sementara, kemudian peserta di bagi dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok diminta untuk membuat pengertian dan
definisi bagaimana orang dewasa belajar.
Proses diskusi kelompok berjalan kurang lebih satu jam, setelah itu, masing-masing
kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
Pada
saat diskusi kelompok, saya tidak begitu aktif, saya mencoba menggunakan
“siasat diam” dan mendengarkan pendapat orang lain. Dari pendapat orang-orang
tersebut saya mencoba berkomentar.
Diskusi
pleno melahirkan berbagai komentar dan pendapat di seputar pengertian POD.
Setelah diskusi pleno selesai, Ibu Manti mencoba menjelaskan apa yang dimaksud
dengan pendidikan orang dewasa, mulai dari dasar filosofinya sampai pada
strateginya.
Uraian
Ibu Mantini mengenai POD, kurang lebih sama dengan apa yang saya tulis ulang di
bawah ini:
Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya.
Tentu saja untuk menghadapi peserta pendidikan yang pada
umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan
pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku
sekolah, atau pendidikan konvensional yang sering disebut dengan pendekatan
Pedagogis. Dalam praktek
"pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan
seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok
dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan
"pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan
pendekatan ini dikenal dengan "Pendidikan
Orang Dewasa" (Adult Education).
Setelah mendengarkan penjelasan mengenai konsep POD tersebut, saya mulai tertarik, meski masih ada sesuatu yang mengganjal. Ini merupakan pengetahuan baru bagi saya, dan memberikan perspektif baru pula dalam melaihat konsep pendidikan yang selama ini dilakukan. Saya sudah mulai merenung-renung tentang konsep pelatihan yang selama ini saya ikuti. Ada kemelut yang menggantung dalam pikiran saya, antara menyadari kekeliruan selama ini dan keakuan saya sebagai orang yang “merasa pintar”.
Selain
materi POD, materi pengembangan masyarakat juga merupakan hal hal baru yang
saya ketahu melalui TOT ini. Materi-materi seperti, kepemimpinan situasional,
komunikasi, perencanaan, analisa sosial dll, adalah materi yang sudah sering
saya ikuti, meskipun dalam konsep penyajian yang berbeda.
Melalui TOT inilah pertama kali saya
mengenal istilah pengembangan masyarakat. Beberapa istilah dan metode
diperkenalkan, bagaimana melakukan pengembangan masyarakat.
Pengembangan Masyarakat adalah upaya
mewujudkan masyarakat yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk membangun
dirinya melalui proses identifikasi masalah, merencanakan pemecahan masalah,
melaksanakan kegiatan, serta mengembangkan kegiatan berdasarkan potensi yang
ada pada diri dan lingkungannya. Rasionalisasinya adalah; jika ada kemauan, manusia akan mempunyai kesanggupan belajar untuk
berubah. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, manusia akan melalui proses
penyesuaian, kesalahan dan kegagalan, menjadi pembelajaran. Manusia
itu sendirilah yang menentukan kehidupan yang diinginkan.
Prinsip-prinsip pengembangan
masyarakat menjadi hal yang fundamental dalam pelaksanaan program. Kegiatan
harus ditentukan oleh masyarakat, karena mereka lebih mengetahui apa yang
mereka butuhkan. Kegiatan disesuaikan kemampuan masyarakat, karena unsur
keswayaan menjadi hal utama. Untuk terus termotivasi diperlukan proses
pendampingan dari dari orang luar.
Perdebatan
konsepsional yang berkembang selama pelatihan memberikan nuansa baru.
Kajian-kajian empiric tentang ketidak mampuan masyarakat dalam membangun
dirinya sangat menggugah daya kritis saya. Penyebab terjadinya ketimpangan dan
analisis kebijakan pemerintah seperti memompa saya untuk terus mengikuti sesi
demi sesi di pelatihan ini.
***
Pada hari keenam pelaksanaan TOT,
saya sudah mulai menemukan hal-hal baru, sesuatu yang membuat saya bersemangat.
Saya menemukan idealisme baru dari reruntuhan cita-cita besar saya yang selalu ingin
menjadi dosen, bankir, wartwan, dan lain-lain. Saya sudah mulai merasa senang
dengan cara bermain-main dan memecahkan beberapa kasus yang berkaitan dengan
masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat. Sungguh sesuatu yang baru dan
membangkitkan fitalitas saya.
Satu hari sebelum pelatihan ditutup
pada tanggal 21 Juni 1991, Andi Jamaluddin Ibrahim mengajak saya berdiskusi. Dia
menanyakan kepada saya, bagaimana tanggapan dan kesan saya selama mengikuti
TOT. Saya jawab; bahwa banyak hal baru yang saya peroleh melalui TOT ini, dan
kelihatannya ini menarik untuk didalami. Kemudian Pak Andi melanjutkan
pertanyaannya; apakah saya tertarik untuk
mencoba bekerja sebagai pendamping masyarakat ? Pertanyaan ini saya
anggap tidak serius, sehingga saya juga menjawabnya tidak serius. Saya bilang; ”akan
saya pertimbangkan”, karena saya sedang menunggu peluang untuk menjadi tenaga
pengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI), meskipun IPK
saya hanya rata 2,5, jauh dari angka yang dipersyaratkan IPK 3,5 untuk tenaga
pengajar. Tapi saya tetap optimis bisa diterima karena saya mantan ketua senat mahasiswa
fakulats ekonomi UMI.
Rupanya Pak Andi bukanlah orang yang
gampang menyerah. Dua hari setelah TOT dilaksanakan, Pak Andi kembali menemui
saya dan menanyakan kesiapan saya untuk menjadi tenaga pendamping masyarakat. Saya
melihat ini sudah sangat serius, sehingga saya meminta pak Andi menjelaskan apa
yang dia maksud dengan pendamping masyarakat, di mana
masyarakat yang akan didampingi, dan siapa yang memberikan pekerjaan itu, dan
apakah ini sifatnya kerja sosial dan sukarela ? Kemudian Pak Andi menjelaskan bahwa sebenarnya
belum ada daerah yang jelas untuk didampingi, baru mau diusulkan. Rencananya
salah satu desa di Kabupaten Polmas (maksudnya; Kabupaten Polewali Mamasa,
sekarang sduah berubah menjadi Polman). Mengenai siapa yang akan mempekerjakan,
Pak Andi menjelaskan bahwa, program ini nantinya akan dikerjasamakan antara
Balai Latihan dan Pengemabngan Masyarakat (BLPM) LAKPESDAM Unit I Ujung Pandang
dengan Yayasan Indonesia sejahtra (YIS) Solo.
Setelah mendengarkan penjelasan Pak
Andi, saya menyatakan bersedia dan menanyakan apa yang harus saya lakukan.
Dengan senyumannya yang khas, Pak Andi mengatakan,” baiklah, kita akan ke besok
malam untuk melihat lokasi program, dan setelah itu kita buat proposalnya
secara bersama”.
Inilah awal saya secara formal menyatakan
siap untuk bekerja sebagai pendamping masyarakat, sebuah pekerjaan yang tidak
pernah saya cita-citakan. Keputusan ini kemudian menjadikan saya tersesat ke
jalan yang benar. Tresesat, karena di jalan inilah saya menumukan banyak
sahabat, menemukan airti pengabdian untuk sesama, dan menemukan arti hidup.
Kemudian saat ini, dalam perjalanan yang belum berujung ini, kutemukan bahwa
saya begitu mencintai pekerjaan ini karena Tuhan telah menjadikannya jalan
hidup untuk saya. Begitu nikmat rasnya bisa berbagi dengan saudara-saudara saya
yang masih tergolong miskin dan tertindas.
*******
Dalam perjalan menuju Polmas, Pak
Andi mulai bercerita tentang BLPM Lakpesdam NU, yang mendapat amanah untuk
memberdayakan warga NU yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Pak Andi mengatakan
bahwa posisinya sekarang di BLPM sebagai bendahara, dan posisi itu sudah
dijalaninya selama 2 tahun. Dan kemungkinan dalam waktu dekat akan ada perombakan
pengurus dan akan melengkapi struktur organisasinya. BLPM Lakpesdam pada
awalnya hanya memiliki tiga orang pengurus, masing-masing; satu orang kepala
balai, satu sekretaris, dan satu keuangan.
Perjalanan munuju Polmas ditempuh
dalam waktu 7 jam perjalanan, dengan jarak kurang tempuh kurang lebih 250 km
dari Makassar. Kami tiba di Wonomulyo, Polmas pada jam 00,30 dini hari. Inilah
untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di wilayah Polmas. Malam itu kami
menginap dirumah salah satu pengurus cabang NU Polmas, Salam Isrwanto,
sekaligus melaporkan tujuan kedangan kami ke Polmas. Setelah sarapan pagi dan
mendiskusikan beberapa hal dengan Pengurus Cabang NU Polmas, kami melanjutkan
perjalanan menuju Pambusuang, Kecamatan Tinambung. Jarak tempuh antara Wonomulyo
dengan Pambusuang kurang lebih 30 KM, dengan waktu tempuh kurang dari satu jam
perjalanan.
Dengan berbekal alamat yang
diberikan oleh PC NU Polmas, kami menemui pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC)
NU Kecamatan Tinambung. Begitu kami turun dari kendaraan umum disekitar pasar
Pambusuang, kami menanyakan alamat yang kami tuju pada seseorang, dan langsung
ditunjukkan sebuah rumah yang ada sebelah timur pasar Pambusuang. Tidak begitu
sulit menemukan alamat yang kami cari, karena sebagian besar penduduk Desa
Pambusuang adalah warga NU dan mengenail baik pengurus MWCnya.
Sesampai di rumah yang kami tuju,
ternyata orang yang akan ditemui sedang kelaur rumah, kami diminta menunggu sebentar oleh istri
ketua MWC. Sambil meninti kedatangan beliau, kami disuguhi penganan khas Mandar,
berupa beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapan dan gula merah. Sembari
menikmati sajian dari tuan rumah, saya mengamati foto-foto yang terpajang di
dinding rumah. Foto-foto hitam putih yang memperlihatkan kemeriahan kampanye Partai
NU di era 60-an serta beberapa foto ulama besar NU, membawa saya ke masa kejayaan
organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini. Pambusuang memang menjadi
basis perjuangan NU di Kecmatan Tinambung.
Setelah menunggu beberapa jam,
akhirnya Ketua MWC NU Tinambung datang juga. Pak Andi, kemudian memperkenalkan
diri dan menjelaskan tujuan kedatang kami ke Pambusuang. ”Kedatangan kami ke Pambusuang adalah untuk
melakukan studi singkat mengenai keadaan desa Pambusuang yang akan menjadi
lokasi program pemberdayaan masyarakat NU” demikian Andi jamal menjelaskan. Untuk
itu beberapa informasi dan data l yang akan dilihat meliputi; jumlah penduduk
dan kepala keluarga, tingkat kemiskinan dan mata pencaharian utama, masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan. Apabila Desa Pambusuang dianggap layak untuk didampingi maka akan
diusulkan ke YIS Solo untuk dikerjasamakan dengan BLPM Lakpesdam NU Unit I
Ujungpandang. Ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Tinambung menyanggupi untuk
menfasilitasi kami dalam proses pendataan dan pencarian informasi tersebut, dan
berjanji akan mempertemukan kami dengan Kepala Desa Pambusuang dan tokoh-tokoh
NU di desa tersebut.
Setelah sholat isyah, kami diajak oleh
Ketua MWC NU untuk mengikuti acara pengajian rutin yang diselenggarakan oleh
salah satu kelompok mejelis zikir di Pambusuang. Zikir dan pengajian yang
dilakukan setiap malam Jum’at itu diikuti sekitar 30 orang jamaah yang semuanya
laki-laki.
Kami tiba di tempat zikir, pada saat
orang mulai melakukan pembacaan do’a
penutup. Sebelum sampai di tempat zikir, saya mendengar lantunan
do’a-do’a dan zikir yang mebuat suasana malam di Pambusuang terasa hikmat. Tidak
lama kemudian acara zikir berakhir, dan kami diperkenalkan oleh Ketua MWC NU
Tinambung kepada majelis zikir. Saya mulai menatap satu-satu peserta zikir yang
berjejer melingkar, dan menemukan beberapa wajah yang kemudian menjadi
orang-orang yang sangat mempengaruhi hidup saya.
Setelah kami diperkenalkan dan,
kemudian pimpinan majelis zikir menyampaikan ucapan selamat datang kepada kami,
dan menyatakan siap membantu dalam melakukan asessesment
awal di desa Pambusuang. Nama ketua majelis zikir tersebut adalah Sayyed Jafar
Taha, salah seorang tokoh agama yang sangat disegani dan dihormati di Pambusuang. Usai acara zikir, kami disuguhi
penganan has mandar dan kopi hangat. Sambil ngobrol dengan peserta zikir,
rupanya Andi Jamal mengenal salah seorang jamaah majelis zikir, namanya Muhammad Ridwan,
alumni Institut Agama Islam Negeri (IAN) Ujungpandang. Pak Ridwan ini adalah sekertaris pengurus
majelis zikir tersebut. Selain itu, beliau juga mengajar di pesantren di
pambusuang.
Sekitar jam 10 malam, acara zikir dan
diskusi selesai. Kami tidak langsung pulang kerumah ketua MWC NU, tapi kami
langsung bertamu ke rumah Ridwan untuk menjelaskan lebih rinci tujuan kunjungan
kami ke Pambusuang. Malam itu, kami ditawari untuk bermalam di rumah Pak
Ridwan, tapi karena sudah terlanjur berada dirumah Ketua MWC, maka
kami berjanji untuk menginap besok malammnya.
Pagi setelah sarapan di rumah Ketua MWC,
kami pun pamit untuk pindah tempat nginap di rumah Pak Ridwan. Ketua MWC tidak
keberatan, dan menyampaikan kalau masih perlu bantuannya, beliau tetap bersedia
membantu. Kami pun berangkat menuju rumah Pak Ridwan dengan membawa seluruh barang
bawaan kami.
********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar