Oleh:
Wahyuddin Kessa
(Koordinator
Provinsi PNPM-Mandiri Perdesaan Gorontalo)
Apakah
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM) bisa disebut sebagai profesi ?
Sehingga perlu dibuatkan standar kualifikasi profesi melalui sertifikasi ?
Pertanyaan ini sudah menjadi pro-kontra sejak lima tahun terakhir.
Bagi mereka yang kontra terhadap sertifikasi
profesi FPM, memiliki argumentasi bahwa; kerja fasilitator adalah kerja-kerja
idealis, yang membutuhkan rasa empati, daya kritis, serta idealisme tinggi.
Memperjuangkan visi dan ideology adalah hal yang sangat penting, sehingga
apabila ada upaya menjadikan kegiatan ini sebagai “profesi”, maka dikhawatirkan
akan merusak komitmen dan idealism fasilitator pemberdayaan masyarakat.
Alasannya; “professionalitas” selalu diukur dari seberapa besar “bayaran” untuk
suatu profesi berdasarkan standar kerja yang sudah disepakati. Jadi, jika
bayaran/upah sudah menjadi alasan untuk bekerja, maka rasa empati terhadap
nasip masyarakat akan menurun, kalau tidak bisa dikatakan hilang. Selain itu,
juga dikhawatirkan sertifikasi profesi bisa menjadi “penjara” bagi perkembangan
kreatifitas fasilitator di dalam mencari solusi bagi persoalan yang dialami
oleh masyarakat. Biasanya standar kompetensi kerja diatur sedemikian rupa
sehingga bisa diukur secara kuantitatif, karena akan terkait dengan upah atau
bayaran.
Tanpa
mengabaikan argumentasi tersebut di atas, akhirnya, mereka yang mendukung dilakukannya
sertifikasi profesi bagi FPM memenangkan perdebatan ini, yang ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 81 Tahun 2012, tentang: Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan Bidang Pemberdayaan Masyarakat
Untuk Jabatan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Menjadi Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Sejarah FPM
Tidak
ada catatan rinci mengenai sejarah kegiatan pemberdayaan masyarakat di
Indoensia. Hal ini hanya bisa ditelusi melalui rekam jejak para penggiat
pemberdayaan masyarakat, atau yang dulu dikenal dengan pengemangan masyarakat (community development). Aktifitas ini
dulunya hanya dilakukan oleh gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
dimulai sekitar awal tahun 1970-an. Dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-an
sampai akhir 1990-an. Pada masa-masa itu, penggiat gerakan perubahan social ini
mencoba menawarkan model pendekatan pembangunan alternative, yang melibatkan
langsung masyarakat di dalam setiap kegiatan pembangunan. Orang-orang yang
bekerja di sektor ini (baca LSM) biasanya adalah orang-orang yang memiliki
idealisme dan independensi, sehingga mereka lebih memilih disebut sebagai aktifis
social, ketimbang disebut sebagai pekerja LSM.
Sebagai
kegiatan stimulant, biasanya dikembangkan berbagai program yang terkait
langsung dengan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan.
Program-program pertanian, kesehatan, pendidikan, pengembangan ekonomi mikro,
pembinaan kelompok nelayan dan lain-lain, adalah program yang paling banyak
dilakukan. Hasil capaian kegiatan bukanlah menjadi tujuan, tapi proses
pelibatan masyarakat secara langsung menjadi sangat penting, agar masyarakat
bisa merasakan dan mengembangkan kreatifitasnya dalam menata hidupnya sesuai
potensi yang dimilikinya. Jadi, sesungguhnya kegiatan pemberdayaan masyarakat
adalah bertujuan untuk membangun
kesadaran kritis masyarakat, agar mereka bangkit untuk memperjuangkan penghidupannya
agar bisa lebih baik.
Orang-orang
yang bergiat sebagai pekerja pengembangan masyarakat biasanya disebut sebagai
pendamping masyarakat, motivator, atau fasilitator. Mereka-mereka inilah yang
secara langsung membantu atau menfasilitasi
masyarakat didalam melakukan kajian, merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kegiatan masyarakat. Mereka yang bekerja sebagai pendamping, atau
fasilitator biasanya adalah orang-orang yang memiliki komitmen dan kepedulian
tinggi terhadap nasib yang dialami oleh masyarakat. Selain itu, mereka juga
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan isu-isu pembangunan
dan pengembangan masyarakat.
Dengan berkembangnya program-program berbasis
pemberdayaan masyarakat sejak awal dasawarsa 1990-an, baik yang dikelola oleh
LSM maupun yang mulai diprakarsai oleh Pemerintah, maka peran fasilitator
sebagai pendamping masyarakat dalam pelaksanaan program-program tersebut
menjadi semakin banyak dibutuhkan. Kehadiran fasilitator pemberdayaan
masyarakat mutlak ada di setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Kebutuhan perogran pemberdayaan masyarakat
terhadap tersedianya fasilitator pemberdayaan masyarakat terus meningkat, dan
menacapai puncaknya ketika Pemerintah menetapkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai kebijakan payung bagi program-program
berbasis pemberdayaan masyarakat pada tahun 2007. Kebijakan ini berkonsekwensi
terhadap meningkatnya kebutuhan akan
tenaga Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat dalam mengawal proses pembangunan. Saat
ini diperkirakan sekiatar 50.000 orang yang bekerja sebagai fasilitator pemberdayaan
masyarakat di berbagai program yang dibiayai oleh Negara.
Dalam perkembangannya, jenis Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat juga sudah beragam sepesifikasinya, sesuai tuntutan
pembangunan yang ada, seperti fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknis,
fasilitator keuangan, dan sebagainya. Namun demikian, meningkatnya kebutuhan
dan keberagaman jenis fasilitator tersebut belum diikuti oleh dikembangkannya
standar kompetensi dan jenjang karir yang jelas bagi Fasilitator Pemberdayaan
Masyarakat.
Kenyataan yang ada bahwa kebutuhan akan
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang memiliki kemampuan yang baik jumlahnya
terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa
fasilitator pemberdayaan masyarakat telah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah
profesi. Dalam rangka mengembangkan profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat
beserta sistem penjaminan kualitas terhadap kinerjanya, maka keberadaan
sertifikasi profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat mutlak diperlukan.
Sebagaimana yang tertuang di dalam Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat, yang akan
menjadi dasar dari Lembagai Sertifikasi Profesai Fasilitator Pemberdayaan
Masyarakat (LSP-FPM), menyebutkan setidaknya tiga alasan utama mengapa
sertifikasi penting dilakukan. Pertama,
sertifikasi akan menjamin terselenggaranya layanan pemberdayaan masyarakat yang
berkualitas. Dewasa ini masih dijumpai Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang sebenarnya tidak atau belum memiliki
kompetensi dan atau pengalaman kerja sesuai kebutuhan masyarakat. Kedua, sertifikasi akan menjamin bahwa
tenaga Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang dipekerjakan benar-benar
memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dan biaya yang telah dikeluarkan. Ketiga, sertifikasi ini merupakan pengakuan terhadap profesinya. Pengakuan ini akan diikuti oleh
adanya penghargaan (gaji, upah, dan insentif lain) yang memadai, sesuai dengan
standar gaji atau remunerasi yang berlaku bagi seorang tenaga professional dan
tingkat pengalaman yang dimiliki. Dengan demikian, masa depan dan keberlanjutan
profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat akan semakin terjamin.
Inilah yang menjadi alasan utama mengapa
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat perlu diperjuangkan menjadi salah satu
profesi yang diakui, dan perlu disertifikasi agar standar kerjanya dapat
dipertanggung iawabkan.
Mencari Titik Temu
Untuk itu, perlu dicari titik temu antara
yang mendukung dan yang tidak mendukung pelaksanaan sertifikasi FPM, agar
hal-hal yang menjadi kekhawatiran kedua belah pihak dapat dieleminir. Untuk
yang mendukung sertifikasi, harus mewaspadai standarisasi profesi yang
melupakan unsur-unsur “spiritualitas” dari profesi fasilitator. Fasilitator
Pemberdayaan masyarakat, haruslah mereka yang memiliki moralitas dan rasa
emapati yang kuat, agar “upah” tidak mengalahkan visi dan misi pemberdayaan
masyarakat.
Bagi yang tidak mendukung pelaksanaan sertifikasi bagi fasilitator pemberdayaan
masyarakat, harus tetap bisa melakukan aktifitasnya tanpa harus dibatasi dengan
kewajiban mengikuti sertifikasi profesi. Ini harus dijadikan pilihan terbuka,
agar proses pendampingan atau fasilitasi pemberdayaan masyarakat tetap dapat
berjalan sesuai visi dan misinya.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar