Fajar belum terbit, Pak Nani sudah hadir di depan kamar kontrakan saya, untuk mengantar kami ke Suwawa Timur. Seluruh perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya, dinaikkan di kendaraan. Sambil menunggu Adri, asisten fasilitator teknik kabupaten Bone Bolango, yang akan menemani perjalanan saya ke Pinogu, saya memeriksa kembali seluruh perlengkapan yang kami butuhkan, sambil meneguhkan keyakinan.
Tepat jam 5 pagi, Adri tiba di kamar kontrakan saya. Tanpa membuang waktu, kami pun melaju munuju arah timur kota Gorontalo. Udara dingin terasa menusuk tulang, karena jendela mobil dibiarkan terbuka. Adri tidak tahan jika jendela mobil ditutup. Di Kabila, kami menjemput Andi Ismad, Fasilitator Teknik Kecamatan Pinogu. Di Suwawa Tengah kami mampir di warung untuk sarapan pagi. Matahari mulai terlihat dari arah timur, saat kami meninggalkan warung nasi kuning itu.
Jam 7.00 kami tiba di Pasar Tulabulo, Suwawa Timur, tempat terakhir yang dapat di jangkau oleh kendaraan roda empat. Di Tolabulo kami istirahat agak lama, sambil menunggu Arfan, ketua Unit Pengelola Kgiatan (UPK) Suwawa Timur, yang juga akan menyertai perjalanan saya. Dua puluh menit kemudian, Arfan muncul dengan sepatu bot yang lengkap. Melihat Arfan yang sangat siap dan berpengalaman menjelajahi hutan Pinogu, kepercayaan diri saya makin kuat.
Sekarang, sudah ada 3 orang yang akan mengawal perjalanan saya ke Pinogu; Adri, Andi Ismat dan Arfan. Dengan bantuan mereka, saya akan menuju Pinogu dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 30 km mengarungi medan yang menanjak menelusuri lereng-lereng gunung dan melintasi sungai yang berbatu di dalam kawasan Taman Nasional Nani Warta Bone. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika orang baru ke Pinogu dengan rute jalan kaki, biasanya waktu tempuhnya sampai 13 jam perjalanan.
Arfan dan Andi Ismad mengumpulkan seluruh pakaian yang tidak kami butuhkan di perjalanan, kemudian dia titipkan kepada tukang ojek yang akan ke Pinogu, tujuannya agar tidak banyak beban yang harus dibawa di perjalanan. Setelah itu, kami berempat diantar naik ojek ke tempat pendakiaan awal, “tanjakan perkenalan dan selamat datang”.
Sebelum melakukan pendakian, kami semua berkumpul dan melakukan pelemasan otot. Arfan dan Adri bertanya kepada saya, “apakah bapak sudah siap ?”. Saya jawab; saya siap lahir batin. Bagi saya, perjalanan ini adalah perjalanan bersejarah dan penuh arti. Saya akan buktikan bahwa saya sangat mencintai rakyat Pinogu. Meski ada alternative naik ojek, saya tetap memilih jalan kami, karena saya ingin merasakan apa yang dirasakan oleh saudara saya di Pinogu. Untuk itu; ekspedisi ini saya beri nama “PERJALANAN CINTA PINOGU”.
Setelah melemaskan
otot-otot dan meneguhkan keyakinan untuk mencapai Pinogu, maka langkah pertama
kuayunkan untuk menaiki tanjakan pertama, “tanjakan selamat datang”. Dua puluh
langkah pertama terasa ringan, meski kemiringan tanjakan sekitar 30 derajat.
Pada dua ratus meter pertama, saya sudah mulai merasakan beratnya tanjakan
pertama ini. Napas kuatur sebaik mungkin agar tidak terlihat rapuah oleh Adri,
Ismad dan Arfan. Saya mencoba menikmati suasana alam yang indah, dengan sinar mentari
pagi yang menerobos lewat sela-sela rindangnya pepohonan, sedikit mengurangi
kepenatan yang mulai menggantung di kaki. Ini baru awal, tapi napas sudah agak
sulit diatur.
Saya
istirahat sejenak di jarak 250 meter pertama, sambil bertanya kepada Ismad,
“berapa panjang tanjakan ini Ismad ?”. “Sekitar dua kilo meter pak”, jawab
Ismad. Keringatku mulai mengujur deras, kutatap satu persatu orang-orang yang
mengawal saya. Arfan mengerti maksudku, “tinggal sedikit lagi tanjakannya yang
sulit pak, setelah ini cendrung landai dan sedikit mendaki” kata Arfan member
semangat kepada saya. Langkah pun kuayun kembali menuju tempat peristirahatan
pertam di jarak dua kilomer.
Tiba di
temapt instirahat pertama, sebuah pondok yang menyediakan penganan ringan bagi
pejalan kaki, dan waktu telah menunjukkan jam 8.00. Ini adalah pondok terakhir
sebelum kami memasuki hutan Taman Nasional Nani Warta Bone. Di tempat ini kami
beristirahat cukup lama untuk memulihkan tenaga yang terkuras pada “tanjakan
selamat datang”. Sekitar 30 menit waktu dibutuhkan untuk menghabiskan kopi yang
dipesan oleh Arfan. Setelah merasa pulih kembali, kami melanjutkan perjalanan.
Dari tempat
istirahat pertama ini, kami melalui jalan setapak yang menurun. Ini sangat
membantu saya yang sudah hampir kehabisan tenaga. Jalan menurun ini sekitar
satu kilo meter hingga di sungai yang airnya terasa asin. Dari sungai ini, kami
meneruskan perjalanan dengan sedikit mendaki. Sekitar 15 menit perjalanan, kami
memasuki kawasan konservasi burung maleo. Kawasan konservasi ini tidak terlihat
ada tanda-tanda aktifitas yang menonjol, hanya hutan bambu dengan papan
petunjuk area konservasi.
Setelah
mengamati aktifitas di area konservasi burung maleo selamat 5 menit, kami
kembali melajutkan perjalanan. Dengan melewati hutan bambu yang cukup lebat,
kami mencapai kawasan padang ilalang yang cukup luas. Di tempat ini terdapat
mata air panas dengan suhu tinggi yang dapat digunakan untuk memasak telur.
Hungayono, demikian orang menyebut sumber air panas tersebut. Kami tiba di
temapt ini jam 9.15. Sambil duduk di atas hamparan batu besar, Adri
mengeluarkan telur ayam yang akan dimasak di sumber air panas tersebut. Lima
belas menit kami menunggu, dan telur itu sudah siap kami santap.
Setelah 20
menit di Hungayono, kami melanjuan
perjalan menuju titik peristirahatan berikutnya. Dua biji telur setengah matang
yang saya santap, menjadi enegi tambahan
untuk melakukan pendakian kedua menuju Sungai Pomaguo.****
Perjalanan
menurun sampai sungai Pomaguo, membuat perjalan semakin cepat. Hanya 15 menit
jalan kaki, kami sudah ada di bibir sungai Pomaguo. Untuk mengefektifkan waktu,
kami tidak istirahat di sungai ini, hanya mengisi air minum dari air sungai
yang mengalir jernih. Kami baru istirahat agak lama ketika mencapai sungai
Utadu tepat jam 10.00.
Arfan
mengingatkan kepada saya, agar istirahat lebih lama di sungai Utadu ini.
Pendakian yang akan dilalui merupakan pendakian paling sulit. Panjangnya hanya
sekitar dua kilo meter, namun kemiringannya mencapai 30 derat. Sambil
istirahat, saya minta Adri mengurut betis dan paha saya yang mulai terasa
keram. Menurut Arfan, tanjakan ini sudah banyak memakan korban, dan tidak bisa
melanjutkan perjalanan karena mengalami cedera otot. Untuk itu, saran Arfan,
jangan memaksakan diri dalam pendakian.
Tiga puluh
menit waktu yang kami gunakan untuk istirahat guna pemulihan tenaga. Jam
menunjukkan 10.30 di saat langkah pertama ku ayun untuk menaiki tanjakan paling
ekstrim di perjalanan ini. Langkah ku atur sedemikian rupa agar bisa mencapai
puncak dengan selamat. Perlahan dan sangat hati-hati. Pikiran sengaja kualihkan
ke hal-hal yang lain, agar tidak focus memikirkan panjangnya tanjakan ini.
Tidak kurang dari sepuluh kali saya singgah istirahat dan menghabiskan air dua
botol ukuran sedang. Di jarak perjalanan satu kilo meter, jantung saya mulai
berdenyut kencang membuat pendengaran dan pengelihatan saya agak kabur. Adri
dan Arfan meminta saya untuk istirahat, sementara Andi Ismad mengawasi saya
dari belakang. Saya memilih pohon yang agak besar untuk bersandar. Ku atur
napas dan meluruskan kaki yang mulai kelelahan sambil membesarkan hati dan
meneguhkan keyakinan bahwa saya pasti bisa.
Saya berhasil
mencapai puncak tanjakan setelah berjuang selama dua jam. Arfan menawari saya
istirahat dipuncak tanjakan, tapi saya menolaknya. Saya ingin segera tiba di
sungai Buluwee untuk makan siang. Kami pun meluncur turun ke arah sungai, dan
15 menit kemudian kami tiba di Sungai Buluwee. Tanpa peduli dengan yang lain,
saya langsung buka sepatu dan merendam kaki di air sungai yang dingin. Ku minum
air sungai langsung dengan menggunakan tangan, karena sudah tidak sempat
mengisi botol air yang sudah kosong. Pengelihatan yang awalnya berkunang kunang
berangsur pulih setelah kepala kubasuh dengan air sungai yang segar.
Adri membuka
bekal dari ranselnya, kemudian mengajak kami makan. Saya memilih untuk
bersandar di batu besar, ada rasa lelah yang menyerang seluruh badan saya. Adri
mengantar nasi bungkus di dekat saya, tapi saya tidak mengambilnya. Kubiarkan
nasi bungkus itu tergeletak beberapa saat, setelah yang lain selesai makan
siang baru kuambil nasi bungkus itu berikut abon sapi yang sudah disiapkan oleh
Arfan.
Setelah makan
siang, kami lanjutkan pendakian menuju puncak gunung potong. Panjang tanjakan
ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter. Di pertengahan tanjakan, paha
saya mengalami keram sehingga sulit untuk digerakkan. Saya minta Adri untuk
mengurutnya dengan obat oles anti keram yang dibawanya. Butuh waktu 10 menit
untuk memulihkan otot saya yang keram. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan
dengan kaki setengah diseret. Akhirnya kami tiba di puncak gunung potong tepat
jam 13,15.****
Di Puncak
Gunung Potong, saya sudah merasakan kelelahan yang luar biasa. Kaos IPPMI
(Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia) yang saya pakai seluruhnya
basah dengan keringat. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan kelelahan, Adri
juga sudah kelihatan keletihan. Sementara Arfan dan Andi Ismad tetap segar
bugar, mereka tetap wara-wiri memotret alam sekitarnya.
Gunung Potong
adalah gunung yang dipotong bagian tengahnya untuk memperpendek jalur
perjalanan. Sebelum gunung ini di potong (lebih tepat kalau dikatakan dibelah),
pejalan kaki harus memutar sejauh sekitar 60 meter dengan kemiringan tanjakan 35 derat. Proses pembelahan gunung ini
dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita berapa lama
proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan pemotongan
gunung tersebut mempermudah pejalan kaki melintasi gunung ini.
Menurut Arfan,
yang sudah puluhan kali melintasi hutan ini, kami sudah melewati lebih dari
setengah perjalanan, dan tidak adalagi tanjakan yang terlalu berat diperjalanan
ke depan. Titik perjalanan yang dituju sekarang adalah, Pohulongo, yang
merupakan daerah perbatasan Kecamatan Suwawa Timur dengan Kecamatan Pinogu.
Kedua kecamatan ini diantarai oleh Sungai Bone yang lebarnya sekitar 100 meter.
Sebelum TNI menyelesaikan jembatan gantung Pohulongo dua bulan lalu,
penyeberangan dilakukan dengan menggunakan rakit bambu.
Dari Gunung
Potong kami melanjutkan perjalanan menurun sejauh dua kilo meter. Dengan banyaknya pohon-pohon
besar yang tumbang melintang di tengah jalan, sedikit menghambat perjalanan.
Melintasi pohon besar yang tumbang, ternyata sama sulitnya dengan menaiki
tanjakan dengan kemiring 30 derajat. Di setiap akan melintasi pohon, saya harus
istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga.
Satu jam
perjalanan dari Gunung Potong, kami dengar suara motor. Adri menyampaikan
kepada saya bahwa tinggal 20 menit perjalanan akan sampai di jembatan
Pohulongo. Saya sangat terhibur dengan penyampaiaan Adri, dan tanpa sadar
kuayun langkah secepat mungkin. Dua puluh menit berlalu, jembatan Pohulongo
belum juga terlihat. Saya menatap Adri dan Arfan sambil bertanya, apakah
langkah saya terlalu lambat sehingga kita belum tiba di jembatan Pohulongo ? .
Adri menjawab, bahwa itu adalah cara untuk membuat saya bersemangat dan
melangkah lebih cepat. Sialan Adri… !!!
Setelah suara
motor itu berlalu, perjalanan kembali sunyi. Saya tidak lagi banyak bertanya,
karena Arfan juga sudah tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Di benak saya,
hanya ada satu kata; “terus melangkah, sekecil apapun langkah itu akan membuat
saya tiba di Pinogu”. Saya terus melangkah dengan melihat ujung-ujung sepatu.
Tiba-tiba dari belakang Adri berteriak, “jembatan”. Ya, kami sudah tiba di
jembatan Pohulongo, jam telah menunjukkan angka 15.30.
Di Pohulongo,
kami istirahat di warung kopi satu-satunya di tempat ini. Kami disuguhi kopi
Pinogu yang terkenal itu. Saya menikmati aroma kopinya yang khas, kemudian
meminumnya sedikit demi sedikit. Sungguh kenikmatan yang tiada tara, “KOPI
PINOGU”.******
Sambil
menikmati kopi PINOGU, di warung kopi Pohulongo, saya mencoba menggali
informasi dari pemilik warung, dan beberapa informasi saya tanyakan untuk
menghilangkan rasa penasaran saya.
Sebelum
melakukan perjalan cinta ini, saya sudah mengumpulkan berbagai informasi
mengenai daerah-daerah yang akan dilewati, kesulitan medan, dan bekal apa saja
yang perlu kami siapkan. Tentang Pohulongo, saya menemukan kenyataan berbeda
dengan cerita yang saya dengar mengenai “seramnya” situasi penyeberangan ini.
Cerita tentang buaya yang menghadang, dan lebatnya hutan di sekitarnya ternyata
tidak saya temukan. Situasi Pohulongo sudah berubah jauh. Dengan jembatan
gantung yang terlihat anggun, dan jalanan yang sudah diperlebar oleh ekspedisi
NKRI TNI AD, menghilangkan kesan angker tempat ini.
Menurut
pemilik warung, untuk mencapai ibu kota kecamatan Pinogu, yang berjarak 9 km
dari Pohulongo, masih dibutuhkan waktu perjalanan selama 2 sampai 3 jam dengan
jalan kaki. “Apakah masih ada tanjakan ? “ itu pertanyaan yang saya ajukan ke
pemilik warung. Jawabnya, “masih ada beberapa bumbung (gunung), pak, tapi sudah
tidak terlalu tinggi dan jalannya juga sudah luas, jadi sudah lebih enak”.
Sambil
melirik gelas kopi yang isinya sudah di bawah setengah, saya bertanya kepada
Ismad dan Arfan, apakah kita sudah siap melanjutkan perjalanan ?. Saya tidak
mendapatkan jawaban sepontan dari mereka. Arfan dan Ismad hanya mengatakan,
“kita tunggu sebentar lagi pak”. Saya meraih sepatu dan memasangnya kembali.
Kaki saya mulai terasa kesemutan dan pangkal paha agak sulit digerakkan. Saya
dihantui keraguan. Apakah saya masih bisa menyelesaikan etape terakhir ini ?.
Kulihat Adri juga sudah mengalami penurunan stamina yang luar biasa. Air Oxy
yang menjadi andalannya sudah habis karena berbagi dengan saya.
Kulihat jam
yang tergantung di warung itu, tepat menunjukkan jam empat sore. Saya berdiri
dan mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dua motor melaju
dengan suara yang memekakkan telinga mendekati warung kopi. Ismad melambai ke
arah motor tadi, dan mereka berhenti di sisi jalan. “Bapak naik ojek saja
dengan Pak Adri, biar saya jalan kaki dengan Arfan” kata Ismad kepada saya.
“Ismad, ini diluar dari scenario perjalanan saya”. Kalau toh kita harus naik
motor sampai ke Pinogu, maka kita harus jalan bersamaan. Saya tidak mau naik motor
bersama Adri kalau Ismad dan Arfan tidak naik motor juga. Arfan berusaha
membujuk saya, agar saya naik motor bersama Adri, tapi saya bertahan.
Belum selesai
kami berdiskusi mengenai siapa yang naik motor dan siapa yang jalan kaki, dua
motor kembali meluncur dari arah Pinogu. Rupanya Ismad dan Arfan sudah mengatur
scenario penjemputan saya di perbatasan ini. Anak-anak TPK Pinogu, dimobilisasi
untuk menjemput kami di Pohulongo. Melihat empat motor parkir di depan kami,
Adri tersenyum kepada saya, dan berkatan “ jadi kita naik motor saja pak”. Saya
hanya mengangguk dan membalas senyuman Adri. Di dalam hati saya, ada rasa
syukur yang dalam karena tertolong oleh kawan-kawan yang mengerti, bahwa
sebenarnya saya sudah sangat sulit melanjutkan perjalan dengan jalan kaki.
Pangkal paha saya sudah mulai keram dan stamina yang terkuras selama perjalanan
sudah sangat menurun.
Akhirnya kami
melanjutkan perjalanan dengan motor (ojek). Deru suara empat motor membelah
keheningan hutan Pinogu. Medan yang menantang dengan jalur jalur lumpur,
membuat jantung saya berdetak kencang. Saya mengakui keahlian anak anak Pinogu
membawa motor yang sudah di modifikasi, tidak ada bedanya di arena motor cross
dengan special stage. Satu jam perjalan dari Pohulongo ke pusat kota Pinogu. Akhirnya,
kami tiba di ruma kepala desa Pinogu jam 17.30.****
Menjejakkan
kaki pertama di Pinogu, membuat perasaan saya melambung. Ada rasa syukur yang
mendalam, bahwa Tuhan berkenan menolong saya dalam perjalanan sehingga saya bisa
tiba dengan selamat di tempat yang merupakan awal dari Gorontalo. Kepala Desa
Pinogu dan istrinya, menyambut saya dengan ramah. Tanpa basa-basi, tapi dari
senyum tulus keduanya membuat rasa pegal seluruh badan saya hilang.
Metro (FK Pinogu), bersibuk diri merapikan
ransel saya yang tergelatak di teras. Hanya berselang beberapa menit, Ibunda
sudah menyuguhkan kopi pinogu dengan aromanya yang khas. Senja semakin menua,
serupuk demi serupuk kopi itu kunikmati. Ada rasa haru yang menyelimuti
perasaan saya, bahwa di Pinogu nilai ketulusan dan kebersamaan masih sangat
terasa. Andi Ismad kemudian mengajak kami ke sungai untuk mandi. “Agar rasa
pegal-pegalnya hilang, ada baiknya bapak ke sungai berendam” kata Ismad
mengajak kami ke sungai.
Di sungai
yang jernih itu kami berendam. Batu-batu krikil yang bersih, seolah menjadi
alat pemijat refleksi di kaki dan di punggung saya. Kunikmati air pegunungan
itu dengan suka cita. Entah sudah berapa lama saya tidak menikmati suasana
pedesaan seperti ini. Tanpa terasa hampir satu jam kami berendam di sungai.
Setelah
sholat magrib, Adri menawarkan kepada saya untuk mengurut paha dan kaki saya.
“Pak, saya urut dulu sebelum istirahat. Biasanya kalau tidak diurut, bangun
paginya agak kesulitan, kaki biasanya tidak bisa digerakkan” kata Adri. Saya
menurut saja, dan Adri mengambil minyak gosok cap tawon yang sudah dia
persiapkan sejak dari Gorontalo.
Setelah
diurut, Ibunda mepersilahkan kami makan malam. Tidak banyak aktifitas yang saya
lakukan malam itu. Arfan menyarakan kepada saya untuk segera istirahat, supaya
besok pagi bisa lebih segar agar dapat mengikuti seluruh acara yang sudah dirancang oleh Metro.
Jam, 8.30,
saya masuk kamar. Cuaca dingin Pinogu mengharuskan saya menggunakan jaket untuk
tidur. Bagun pagi, kaki saya sudah tidak bisa saya gerakkan. Saya memanggil
Adri untuk membantu saya berdiri. Adri datang dengan minyak gosoknya. Dia
mengoleskan ke paha dan betis saya. Lima menit kemudian saya sudah bisa
melangkah dengan kaki diseret. *****
Menikmati
secangkir kopi pinogu di pagi hari, memiliki sensasi tersendiri. Saya sudah
nikmati banyak kopi dari seluruh negeri, tapi kopi pinogu memiliki cita rasa
yang khas. Rasanya mirip-mirip kopi Mandailing Sumatra Utara atau kopi Takengon
Nangro Aceh Darussalam. Aroma kopinya tidak terlalu menusuk seperti kopi Kalosi
atau kopi Toraja, tapi kopi Pinogu lebih terasa ketika sudah dimulut.
Sambil
menikati kopi pinogu, saya menanyakan arti “PINOGU” kepada Ayahanda Kepala Desa
Pinogu yang menemani saya minum kopi pagi itu. Menurut beliau, secara harfiah,
PINOGU artinya gelangggang tempat berkelahi. Sebelum Gorontalo terbentuk,
raja-raja Suwawa menjadikan daerah ini sebagai tempat mengadu kesaktian dan
keperkasaan bagi calon-calon pemimpin Suwawa. Dari akar sejarah inilah
terlihat, daerah Pinogu memang daerah “keras”. Orang-orangnya memiliki daya
juang dan semangat yang tinggi. Ini terbukti, dari penataan kampong dan
rumah-rumah yang ada di Pinogu. Meski daerah terisolasi, tapi bangunan yang ada
rata-rata rumah batu permanen. Sekedar informasi, harga semen satu sak di
Pinogu bisa mencapai Rp. 300.000,-.
Selain kata
PINOGU, saya juga mendapat cerita menarik tentang burung maleo. Menurut
sekretaris desa Dataran Hijau, burung maleo juga dikenal dengan nama local
“tuangge” yang artinya burung peliharaan raja. Dulunya, burung maleo hidupnya
bukan di hutan, karena dipelihara oleh raja di sekitar kediamannya. Tapi suatu
kejadian membuat raja murka akhirnya “tuangge” di buang ke hutan. Ceritanya
begini; burung maleo setiap akan bertelur selalu menggali tanah atau pasir
dengan kedalaman tertentu untuk menyimpan telurnya. Perilaku maleo inilah yang
hampir meruntuhkan istana raja, karena tanah yang menyangga tiang istina raja
habis digali oleh si maleo.
Selesai
mendengar cerita dari Ayahanda Kepala Desa Pinogu dan Sekdes Dataran Hijau, Metro
dan Arfan mendekati dan mengingatkan saya, agar segera bersiap untuk menghadir
sejumlah acara yang sudah diatur oleh Metro dan Andi Ismad. Kami bergegas ke
sungai untuk mandi pagi.******
PERJALANAN
CINTA PINOGU (8)
Memulai
jadwal saya di pagi hari dengan mengunjungi beberapa program yang di bangun
PNPM Mandiri Perdesaan, sejak tahun 2007, saat itu Pinogu belum dimekarkan
menjadi kecamatan. Metro mengatur kunjungan pertama saya ke taman kanak-kanak
(TK) yang dibangun PNPM-MPd tahun 2007. Bangunan TK yang terdiri dari 3 kelas
dan satu ruangan kantor untuk guru, masih berdiri kokoh dan kondisi bangunan
yang masih sangat baik. TK ini sangat bermanfaat untuk membantu pendidikan anak
usia dini di Pinogu.
Di sebelah
TK, berdiri Puskesmas Pinogu yang terlihat asri. Sebelum melanjutkan kunjungan
ke tempat lain, saya menyempatkan diri singgah di Puskesmas untuk diskusi
dengan pengelolanya. Saya ingin tahu kondisi kesehatan masyarakat Pinogu, dan
penyakit-penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat. Menurut penjelasan
perawat yang saya temui, jumlah pasien yang berobat di Puskesmas Pinogu,
rata-rata 10-15 pasien perhari. Jumlah ini tergolong kecil untuk Puskesmas.
Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit radang
tenggorokan (ISPA) dan reumatik. Ini akibat kondisi cuaca di Pinogu yang sangat
dingin di waktu malam.
Sebelum
meninggalkan Puskesmas, saya meminta salah seorang perawat senior, Dalle yang
ternyata berasal dari Makassar; memeriksa
tekanan darah saya. Hasilnya, 110 per 70. Tekanan darah saya ternyata rendah
dari biasanya 120 per 80. Kemungkinan ini disebabkan stamina saya banyak
terkuras akibat perjalanan yang melelahkan selama 10 jam. Saya disarankan untuk
meminum air putih dan makanan tambahan yang cukup agar stamina pulih kembali.
Dari
Puskesmas kami melanjutkan perjalanan ke lokasi pendidikan usia dini (PAUD).
Bangunan PAUD ini sebenarnya sudah tidak layak dan kurang aman untuk anak-anak.
Melihat keceriahan anak-naka dan optimisme guru-gurunya yang sukarela, membuat
saya terharu. Meski berada di daerah terisolasi, mereka tidak kehilangan
harapan untuk meningkatkan pendidikan anak-anaknya. Semoga dari mereka lahir
pemimpin-pemimpin masa depan negeri ini. Amien…..****
Setidaknya
ada tiga acara yang harus saya hadiri hari ini. Setelah mengunjungi PAUD, saya
melanjutkan perjalan ke Desa Dataran Hijau. Di desa ini kami akan mengikuti
acara penyerahan bantuan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu.
Tiba di
tempat acara, saya disambut oleh sejumlah anak-anak dengan sorot mata kegembiraan.
Saya menyalami satu persatu orang tua mereka, dan berdiskusi dengan Sekretaris
Desa Dataran Hijau. Acara dimulai dengan pembacaan doa, agar apa yang kita
lakukan mendapat berkah dari Allah SWT. Pada kesempatan sambutan, saya
sampaikan bahwa saya sangat senang bisa mengunjungi Pinogu dan bersilaturahmi
dengan saudara-suadara saya yang berada di pelosok daerah terpencil. Bantuan bea
siswa yang diberikan oleh PNPM-MP adalah bantuan yang bersifat stimulant dan
sementara. Jadi, sebagai orang tua, kita wajib mempersiapkan pendidikan bagi
anak-anak kita, agar mereka kelak menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.
Setelah acara
penyerahan beasiswa selesai, saya sempatkan diri mengunjungi program listrik
desa yang dibiaya PNPM-MP pada tahun 2012. Ada 90 rumah yang mendapat bantuan,
hanya 2 alat yang sudah tidak berfungsi kare infertenya terbakar. Masyarakat
Pinogu memang masih sangat membutuhkan listrik.
Selesai
melakukan kunjungan di Desa Dataran Hijau, kami kembali istirahat. Sebelum tiba
di rumah kepala Desa Pinogu, tempat kami mondok, tiba-tiba ada kabar bahwa ada robongan
PNPM-MP melakukan perjalan ke Pinogu
dengan rute jalan kaki. Jumlah mereka 8 orang, dua diantaranya perempuan.
Menurut pembawa kabar, bahwa mereka sudah ada di Pomaguo atau setengah
perjalanan menuju Pohulongo, dan kelihatannya sudah sulit melanjutkan
perjalanan.
Mendengar
kabar tersebut, membuat saya gelisah dan bertanya-tanya, siapa rombongan yang
menyusul kami ke Pinogu ? Saya meminta Adri dan Metro untuk mencari informasi
tentang siapa-siapa teman-teman yang menyusul kami. Pada saat kami mengikuti
acara pelatihan BKAD dan Tim Penyusun RPJM Des di Kantor UPK Pinogu, jam 4 sore
saya mendapat kabar bahwa mereka adalah Tim Faskab Bone Bolango yang disertai
oleh beberapa FK dan FT. Mereka adalah Adnan (Faskab), Farid (Fatekab), Jufri
(Faskeu) Opan (Ass Faskab) dan tiga orang FT dan FK. Mendengar nama-nama mereka
saya sudah mulai khawatir apakah mereka bisa tiba di Pinogu ?
Setelah
sholat magrib, kami mendapat kabar bahwa rombongan tersebut sudah tiba di
Pohulongo dengan kondisi yang sudah sangat lelah. Mendengar kabar tersebut,
saya minta Andi Ismad, Arfan dan Metro untuk menyusul mereka ke Pohulongo. Saya
sangat prihatin, membayakan mereka menginap di daerah perbatasan tanpa
perlengkapan dan bekal yang cukup. Beberapa saat kemudian, Metro sudah siap
dengan sejumlah ojek yang akan menjemput mereka di Pohulongo. Dua jam kemudian,
mereka sudah tiba di Pinogu dengan kondisi yang sangat lelah. Adnan terlihat
letih, dia demam dalam perjalanan, sementara Ira (FT) satu-satunya perempuan
yang ikut di rombongan ini, sudah menagis di perjalanan.
Seprti biasa,
Adri langsung mengeluarkan minyak gosoknya untuk mengurut mereka yang sudah
sulit menggerakkan kakinya. Ira mendapat kesempatan pertama, menyusul Farid dan
Opan. Setelah menikmati hidangan makam malam dan kopi pinogu dari Ibunda, kami
pun kembali beristirahat, dan terlelap hingga pagi yang dingin.****
Mengahiri
kunjungan saya di Pinogu, saya merasa perlu berterima kasih kepada orang-orang
yang telah membantu saya selama perjalanan ke Pinogu. Mereka-mereka adalah
orang-orang yang sangat berjasa dan berperan mengantar saya hingga bisa
menjejakkan kaki di Pinogu. Ini adalah pengalaman yang sangat bersejarah dalam
hidup saya, jalan kaki sejah 32 km ditengah hutan belantara Taman Nasional Nani
Warta Bone. Mereka-mereka adalah:
ADRI DULDU,
asisten Fastekab Bone Bolango. Beliau dengan senang hati menemani saya
melakukan perjalanan yang penuh tantangan. Adri sudah melakukan perjalan ke
Pinogu sebanyak dua kali. Adri adalah pribadi yang hangat, sangat bersahabat,
pekerja yang tekun. Dia sudah malang melintang di dunia konsultan pemberdayaan
masyarakat, mulai dari Sulawesi selatan, Jawa, Kalimantan, hingga kembali ke kampung
halamannya di Gorontalo. “Adri, terima kasih telah membuat saya lebih
bersemangat untuk mencapai Pinogu”
ANDI ISMAD,
Fasilitator Teknih (FT) Pinogu. Anak muda ini berperawakan jangkung dengan
tingga hampir 180 cm. Orangnya tenang, jarang bicara tapi menunjukkan charisma
seorang pengabdi yang kuat. Dia memilih untuk ditempatkan di Pinogu adalah
bukti Andi Ismad memiliki kecintaan dengan rakyat yang terpinggirkan. Andi
Ismad menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Tekni Universitas Muslim Indonesia
(UMI) Makassar, kemudian merantau ke Gorontalo untuk bergabung dengan PNPM-MP.
Rute jalan kaki yang melitasi hutan lindung Nani Warta Bone, bagi Andi Ismad, adalah
jalan perenungan. Ismad tidak lagi merasakan kesulitan melewati jalan-jalan
yang terjadi di sini. Ismad sudah menjadikan jalan itu sebagai jalan kenikmatan
karena dia sangat mencintai alam yang diciptakan Tuhan. “Terima kasi Ismad,
anda telah membuat saya banyak belajar tentang Pinogu dan segala dinamikanya”.
ARFAN, Ketua
Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Suwawa Timur Kabupaten Bone Bolango. Bagi Arfan,
perjalanan ke Pinogu sudah menjadi hal yang rutin. Dia tidak lagi merasakan
lelah dan rasa capek dalam perjalanan. Arfan sudah seringkali menemani tamu
yang akan ke Pinogu. Di sepanjang perjalanan, Arfan menjadi pemandu yang sangat
baik. Dia memahami setiap jengkal tanah dan rute perjalanan menuju Pinogu. Selain
itu, arfan ternya fotografer yang handal sehingga dokumentasi foto-foto
sepanjang perjalanan menjadi lengkap dan menarik. Untuk itu, saya sangat
berterima kasih kepada Arfan, yang dengan keikhlasannya membantu saya
membawakan barang-barang yang saya butuhkan di perjalanan. Saya tidak bisa
membayangkan, bagaimana situasi perjalanan saya tanpa Arfan.
MATRO,
Fasilitator Kecamatan (FK) Pinogu. Metro tidak mendampingi saya dalam
perjalanan, tapi Metrolah yang mengatur seluruh jadwal saya di Pinogu. Metro
juga yang mengatur penjemputan saya di Pohulongo, sehingga saya bisa tiba di
Pinogu sebelum magrib. Metro adalah orang muda yang idealis. Dia memilih
ditempatkan karena ingin tantangan dan konsern membantu masyarakat desa yang
terisolasi. “Terima kasih Metro, anda telah membuat saya bisa memahami program di
Pinogu”.
Selain itu,
saya juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberikan
semangat dan doanya, sehingga saya bisa menginjakkan kaki di Pinogu.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar